_A Be Ge Liburan Bareng.._
“Wah… nggak kerasa ya, sekarang udah waktunya liburan lagi.. Bentar lagi kita SMA, Batik kelas 3..” ujarku, menyeruput jus jerukku.
Kali ini, kami berenam berkumpul di Café Gracias.
“Liburan bareng yok.” ajak Bima.
“Ayo. Kemana?” tanya Indra.
“Oh iya Kak, kemarin Papa bilang ke Nadya.. Katanya, ada satu villa di Jogja, punya temen Papa, yang bisa ditempati selama 2 minggu. Gratis. Sayangnya, Papa mulai minggu depan keluar kota. Papa nyuruh Nadya ngajak sahabat-sahabat Nadya buat nempatin villa itu. Villanya deket Parang Tritis kok, Kak. Kakak-Kakak mau?” tawar Nadya, yang tentu membuat kami berlima berbinar-binar. Siapa yang berani nolak, coba?! Dua minggu, gratis.
“Ya.. Kalo emang boleh sama Papamu, ya siapa yang nolak Dek?” jawabku pelan.
“Hmm… Senin besok ya, Kak. Tanggal 13 Juni 2013..” ujar Nadya, setelah menelepon Papanya untuk meminta izin. Hari ini hari Sabtu. Dua hari lagi kita akan menuju Jogja.
“Oh iya Dek, transportasinya gimana?” tanya Yudha.
“Ntar ada travel yang jemput kita kok, Kak.” Jawab Nadya, masih dengan sedikit semu merah di pipinya.
***
“Dek, aku pengen nginep di rumahmu, nih. Gimana kalo abis ini aku pulang dulu, ngambil barang-barang sekalian buat hari senin, pamit sama Bundaku, trus ntar menuju ke rumahmu. Bolehkah?” izinku.
Perumahan Nadya berada tepat di sebelah perumahanku.
Ia mengangguk pelan. Kami berdua pun berjalan beriringan menuju rumahku.
“Assalamu’alaikum…” salamku, disusul salam Nadya.
“Wa‘alaikumsalam.. Sama temen, Nes?” jawab Bunda, sekaligus bertanya. Aku tahu, beliau pasti sedang berada di halaman belakang untuk menyirami koleksi tanamannya.
“Iya, Bun… Sama Nadya, nih!” jawabku, melepas sepatuku.
Bunda tergopoh-gopoh menghampiri kami yang tengah memanjakan diri di Ruang Keluarga, sejenak setelah terkena sengatan sinar matahari di jalan tadi.
“Nadya.. Sudah lama nggak kesini, Sayang.. Bunda kangen sama kamu..” Bunda datang, langsung menghambur ke arah Nadya. Keduanya berpelukan sesaat.
Saat ini, anak-anak ABG selalu memanggil Bunda dengan sebutan “Bunda”, bukan “Tante” lagi. Sahabat dengan saudara beda tipis..
“Yang hampir setiap pagi rajin kesini tuh si Bima.. Tau tuh, naksir kali ya, sama Kak Nesya..” celetuk Bunda, menuangkan dua gelas es jeruk manis untuk kami.
“Bundaaaaaaaa, apaan sih?! Selalu, deh.” Gerutuku, malas.
Hampir setiap hari Bunda meledekku “ada apa-apa” sama Bima.
Nadya terkikik pelan.
“Tuh Nes,, Nadya aja setuju kalo kamu ‘sama’ Bima..” Bunda terus meledek, bahkan sempat memberi tanda kutip.
Heii apa maksud kalimat Bunda barusan? “Sama”? Aku “sama” Bima?! Bunda apa-apaan sih?!
“Cuma sahabat, Bun… SAHABAAAT! Ih, Bundaa..” omelku.
Aku sama Bima kan gak ada apa-apa..
“Loh nggak papa kan, Nes… Bima itu cakep, sopan, pinter, tinggi.. Hayo, apa yang kurang dari dia?” goda Bunda.
“Bundaaaaaaa udah deh. Berhenti godain Nesya!” gerutuku, beranjak meninggalkan mereka berdua.
Menuju ke kamarku di lantai atas. Segera menyiapkan barang-barangku untuk berlibur ke Jogja.
“Buuun, Nesya mau ke Jogja yaa.. Bareng anak-anak..” seruku dari lantai atas, melongok dari sela-sela tangga.
“Ke Jogja? Berapa hari?” tanyanya.
“Dua minggu, Bun… Boleh, ya?” kali ini Nadya yang meminta izin.
Ku kedipkan sebelah mataku. Ia mengangguk.
Tandanya, ia mau untuk membantuku meminta izin pada Bunda.
“Dua minggu? Nginep di mana?” tanya Bunda lagi.
“Di villa, Bun. Punya temen Papa. Gratis kok, Bun. Boleh ya?” pinta Nadya lagi.
“Transportnya?”
“Tenang aja Bun, semuanya udah siap.. Ntar ada travel yang bakal jemput kita.. Boleh kan, Bun?” pintanya lagi.
“Hmm, iya deh…” angguk Bunda.
“Yes!” aku memekik kegirangan di atas tangga.
“Makasih ya, Bun…” sontak, aku menuruni tangga, memeluk Bunda.
“Oh iya Bun, hari ini Kak Nesya mo nginep di rumah Nadya… Boleh, kan?” lagi-lagi Nadya yang meminta izin.
Dan sekali lagi Bunda mengangguk.
Yes!
***
“Haduh Dek,,, berat banget nih tasku..” keluhku, menghempaskan diri di kamar indah Nadya.
Ia melepas jilbabnya, meletakkan di gantungan baju yang berada di kamarnya. Rambutnya yang lurus sebahu lebih sedikit (Ih, bahasanya nggak keren banget yah?) tergerai indah.
“Kakak.. mau main PS?” tawarnya.
Sontak aku terbangun.
“Mau bangeeet.. Kamu punya games apa aja?” Akhirnya, semangat lagi.
Nadya tersenyum lebar.
“Hmm, kalo yang cocok buat kakak, sih… Hmm, Guitar Hero aja. Gimana?” tawarnya.
Aku mengangguk senang.
Ku lihat koleksi games PS-nya. Memasak, Fashion Show… Oh iya, dia nggak setipe sama aku. Kalo di rumah, games PS-ku tuh adanya yang perang-perangan, sepak bola..
***
“Assalamu’alaikum… Batik.. Batik..” terdengar salam dari arah luar rumah.
Aku dan Nadya yang sedang merapikan perlengkapan pribadi terkejut. Masih pukul 07.00 WIB. Padahal, kami janjiannya pukul 09.00 WIB.
“Dek… Kayanya itu suara Yudha, deh…” godaku, memasukkan jaket ke dalam koperku.
“Bibiiii.. Pintunya jangan dibukain…. Biar Nadya aja yang buka..” seru Nadya dari kamarnya.
Bi Inah pun tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Iya, Non?” bertanya.
“Pintunya jangan dibukain…. Biar Nadya aja yang bukain…” jawab Nadya lembut, melempar senyum andalannya.
“Siap, Non. Tapi kayanya yang dateng cowok tuh, Non. Siapa?” tanya Bi Inah, menggoda.
“Itu tuh, Bi. Yang namanya Kak Yudha..” jawab Nadya bersemu.
“Oh.. Yang sering Non ceritain itu?” goda Bi Inah lagi.
Nadya mengangguk lagi, bersemu.
Lantas Bi Inah pun berlalu dari hadapan kami. Sekali lagi Nadya menatap cermin di kamarnya. Memastikan semuanya terlihat rapi. Ia hanya memakai baby doll berlengan panjang berwarna abu-abu dan memakai jilbab putih di kepalanya. Belum mandi saja, ia terlihat sangat cantik.. Sungguh, aku mengaguminya.
“Udah rapi, Dek. Cantik. Turun sana, gih. Udah ditunggu tuh…” godaku lagi, melihatnya yang berkali-kali melirik cermin.
Ia pun segera menuruni anak tangga pualamnya dengan cepat. Tak selembut yang biasanya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat semangatnya.
“Cepet banget Yudh, datengnya? Baru jam segini juga..” ujarku, kembali memasukkan perlengkapan ke dalam koper.
Tanpa menoleh sedikitpun padanya.
“Yeee salah ya? Daripada telat, mendingan dateng duluan dong….” Jawabnya, langsung membantuku memasukkan barang-barangku ke dalam koper.
“Kamu bantuin Batik aja, tuh. Barang dia lebih banyak.. Biasa lah, ‘Cewek’..” perintahku, memberi tanda kutip.
“Huu dasar.. Kaya kamu bukan cewek aja..” ia mendorong bahuku pelan, lantas bangkit untuk membantu Nadya.
Yang pastinya kembali bersemu merah.
“Eh, tapi emang kamu bukan ‘Cewek Beneran’, yah…” ujar Yudha lagi.
“Heh, enak aja kalo ngomong. Aku cewek tulen!” seruku sewot, menimpuknya dengan bantal.
“Cewek tulen apaan? Mana ada cewek tulen macem kamu?!”
Ih, cari gara-gara ya ini anak..
“Trus, aku ini apaan, kalo emang bukan cewek tulen?” tanyaku, berusaha sabar.
“Apaan yah? Cewek Jadi-Jadian kali, ya..” jawab Yudha usil.
“Apa loe kata aja dah.”
Ku kibaskan tanganku, menganggap semuanya lalu.
***
“Kak, Kakak mau pake jilbab nggak?” tawar Nadya pelan.
Aku yang sedang menemaninya membuat salad untuk keempat sahabat kami, terkejut.
“Yah… Itu pun kalo Kakak mau.. Kalo nggak mau ya ga papa..” Melihat ekspresiku, Nadya seperti merasa bersalah.
“Hmm, gimana ya? Hmm,,, oke deh. Aku pengen mencoba sesuatu yang baru.”
Ku iyakan tawarannya.
“Kakak bawa pakaian lengan panjang, kan? Kalo enggak, ntar Nadya pinjemin…” tanyanya lembut.
“Nggak usah, Dek. Aku bawa lengan panjang semua, kok. Kecuali baby doll.” Jawabku, menaburkan serutan keju seperti yang diperintahkan Nadya.
“Bawa pakaian warna apa aja?” tanyanya lagi.
“Hmm,,, putih, abu-abu, hitam, hijau, biru, apa lagi, ya? Banyak lah, Dek…” jawabku bingung.
“Ya udah deh, ntar aku bawain semua jilbabku aja..” jawabnya, memberi sentuhan akhir pada salad buatannya dan mencicipinya.
“Emang jilbab kamu ada berapa, Dek?” tanyaku, mencicipi salad buatannya. Enak.
“Maaf Kak, nggak maksud sombong.. Aku punya semua warna..” jawabnya.
Ku bantu ia membawa sepiring besar Salad ke meja makan.
“Loh, berarti banyak dong…. Masa kamu mau bawa semuanya ke Jogja?” tanyaku.
“Nggak papa kok, Kak. Demi Kakak.” Jawabnya, meletakkan sepiring besar Salad di meja makan dan tersenyum.
Senyum yang berkali-kali dikeluarkannya, dan berkali-kali pula aku terpikat karenanya.
“Tapi.. jangan kasih tahu ke kakak-kakak yang lain, ya. Biar ntar waktu berangkat, mereka kaget gitu..” usulku.
Ia mengangguk pelan, menaiki anak tangga pualam untuk memanggil keempat sahabat kami. Segera menyantap Salad dan berangkat.
***
“Kalian makan duluan aja, ya. Tadi pagi kita udah makan. Sekarang kita mau mandi..” jelasku.
Keempatnya mengangguk kompak, dengan mulut penuh Salad.
Kali ini aku memakai kaos lengan panjang berwarna hijau tosca, dengan hiasan beruang di sakunya. Celana jeans yang tidak ketat, serta jilbab hijau milik Nadya yang senada dengan kaosku.
Aku dan Nadya sepakat untuk tidak memakai celana ketat. Alasan Nadya, di Islam yang berbau ketat itu dilarang. Alasanku? Malas mengikuti trend wanita. Haha, tapi pada akhirnya aku lebih menyetujui alasan Nadya.
Sedangkan Nadya? Ia memakai cardigan merah dengan kaos putih polos sebagai dalamannya. Dengan celana jeans yang tidak ketat pula, ia berjilbab merah yang juga senada dengan cardigannya.
“Subhanallah…. Kakak cantik banget..” tak terduga, Nadya memujiku.
Ah, jangan seneng dulu kali, kan emang Nadya suka memuji…
Ku lirik sekali lagi cermin di kamar Nadya, sebelum aku muncul di hadapan keempat sahabat lelakiku.
“Kak Indra pasti terpana.” Goda Nadya, menuruni tangga.
“Kamu sama aja ya, kaya anak-anak.. Ih,, ntar Kakak bilangin ke Yudha baru tahu rasa kamu.” Ancamku, balik menggoda.
“Ih, ampun Kak.. Jangan..”
Nadya pura-pura memelas. Membuatku tertawa. Dengan wajah memelas seperti itu saja ia masih terlihat mempesona.
“ECHA?” pekik Indra kaget.
“Kenapa, sih?” tanyaku acuh, membuka kulkas untuk mengambil segelas air minum, lantas meneguknya.
“Ini beneran Nesya Zafira?” tanya Yudha, angkat suara.
“Bukan.” Jawabku malas.
“Ini beneran Motcu?” kali ini Bima.
“Ini beneran Motcu-nya A Be Ge? Nesya Zafira seperti yang kita kenal?”
Lengkap sudah, keempatnya sudah berkomentar. Eh, bertanya maksudnya.
“Buat Radum.. Kenapa, sih? Buat Piton.. Iya, lah. Buat Tikus.. Siapa lagi? Buat Bepil.. Iyaaaaa…” jawabku, kembali meneguk air minumku.
“Tik, Motcu kamu apain?” tanya Indra tiba-tiba.
“Ih, Kakak nyalahin Nadya? Kok nyalahin Nadya sih?” tanya Nadya sewot.
“Ya pasti kamu nih, yang ‘nyulap’ kak Motcu...” tuding Yudha, memberi tanda kutip.
“Kamu kasih mantra apa, sih?” Bima.
“Kok jadi gini?” Mike.
“Kakak-Kakak yang terhormat… Jangan salahin Nadya, jangan tanya sama Nadya.. Nadya ga ngapa-ngapain… Ga kasih mantra apa-apa.. Nadya cuma nawarin doang. Dan Kak Motcunya mau.. Ya udah. Apa yang salah, coba?” Nadya berujar, sedikit malas.
Mengangkat bahunya.
“Tapi, jujur deh Cha, kamu cantik banget.” Ujar Indra.
Uh, ku tatap matanya sadis. Jangan bilang gitu, Ndra! Ntar anak-anak pada berisiik!!
Dan benar saja..
“Uhuk, Uhuk!” Yudha duluan.
“Ehm, ehm!” Bima ngikut.
“Duh duh, ada Romeo Juliet…” Mike ngaco.
“Wah… Kapan ya, ada cowok bilang gitu ke Nadya?”
Entah kesambet apa, Nadya ikutan menggila.
“Yudha, Bima, Mike.. Gue timpuk loe!” ancamku, nyaris melempar sepatu yang akan kukenakan.
“Nadya, sekali lagi kamu kaya gitu, Kakak bakalan bocorin rahasia kamu ke semua anak ABG.” Ancamku, sedikit lebih halus.
“Dan loe, Ndra!” tudingku. “Jangan pernah ngomong gitu lagi.”
“Wah… Ternyata sifat tomboynya masih tetep.. Ku kira ikut ilang juga..” sahut Yudha.
Ckckck, nih anak bener-bener cari masalah, deh…
“Tapi beneran Kak, Kakak cantik banget.” Nadya ikut memuji, tulus. (Mana pernah dia ga tulus?)
“Iya, Cha. Kamu keliatan lebih dari biasanya. Bukannya aku ada rasa sama kamu, tapi ga ada alasan buat bilang kamu nggak cantik.” Bima ikutan nimbrung.
“Tuh kan Kak… Kak Bima yang fans-nya selangit dan nggak ada yang dianggep cantik aja bilang gitu..” Nadya lagi.
Yudha dan Mike mengangguk-angguk, sepertinya setuju dengan pendapat Bima.
“Ih, mau diapa-apain ya lebih cantik kamu, Sayang.” Ujarku, mencolek dagu Nadya.
TIN! TIN!
“Tuh, travelnya dateng..” seruku kepada seluruh anak ABG.
Semua anak pun mengangkat koper beratnya dan segera memasukkannya ke dalam mobil travel. Setelah dengan sibuk mengurusi koper masing-masing, kami menghempaskan tubuh di bangku travel.
“Berangkat, Paaak…..” seru Yudha ramah.
Kami pun segera berdo’a. Do’a keluar ruangan, naik kendaraan darat, serta keselamatan dunia akhirat. Semoga di Jogja tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Amin.
***
“Kak… Kak…” suara halus nan lembut menghiasi gendang telingaku.
Aku terbangun dari tidurku. Mimpiku di tidur singkat tadi begitu susah dilupakan. Aku seperti tidak ingin bangun dari tidurku.
“Hoahm… Ya?” aku masih menguap, lantas bertanya dengan suara berkumur.
Mata belum sepenuhnya terbuka, jadi entah siapa yang membangunkanku barusan. Sepertinya Nadya.
“Udah nyampe nih, Kak. Udah sampe di Jogja.” Jawabnya, terus-menerus mengguncang-guncangkan tubuhku.
Seketika aku terbangun.
“Udah nyampe, De?” tanyaku semangat, mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih menyisakan kantuk tiada kira sekaligus rasa malas bangun karena mimpi indah tadi.
Ia mengangguk-anguk senang.
Entah sudah berapa jam dan berapa hari atau mungkin berapa minggu kami berada di perjalanan (halah, lebay banget. Masa sampe semingu?), akhirnya kami sampai di tujuan. Ku lihat, kami berada di sebuah rumah yang—yaah— lumayan besar. Mungkin ini villa yang dimaksud.
“Bim… Bima..” hanya dengan dua guncangan, aku memilih untuk tidak membangunkannya.
“Bentar banget Kak, banguninnya?” tanya Nadya, heran.
“Bima bangunnya paling susah, De. Ntar buang-buang waktu. Ya mendingan bangunin yang lain dulu, trus baru bangunin Bima rame-rame..” jelasku, mengguncang-guncang tubuh Mike.
“Udah nyampe, Mot?” tanya Mike, mengusap-usap matanya. Menghilangkan kantuk.
Aku berlalu. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Hanya dengan melihat sekitar, ia pasti akan mengetahuinya.
“Masya Allah.. Cueknya dikurangin dikiiitt.. aja. Nggak bisa, ya?” protes Mike, membangunkan Indra.
“Bangunin tuh, Piton-nya…” bisikku, menggoda Nadya.
“Ih, Kakak..” semu merah di pipinya membuatnya semakin mempesona.
“Udah, gih. Kamu bangunin Yudha. Biar aku, Mike, sama Indra yang bangunin Bima..” senggolku, menggoda lagi.
Akhirnya ia menurut, meskipun tetap bersemu.
Ku lirik ia selagi membangunkan Bima.
“Kak… Kak Yudha..” dengan halusss (lebih halus daripada saat membangunkanku) ia mengguncang-guncang tubuh Yudha.
“Hm?” seperti biasa, Yudha akan menggumam saat dibangunkan.
“Bangun, Kak. Kita.. udah sampe di Jogja..” jawab Nadya lirih, berusaha menahan pipinya agar tidak bersemu di hadapan Yudha yang perlahan mulai membuka matanya.
“Hoaahm… Makasih ya Dek, udah dibangunin….” Dengan menguap, Yudha berujar.
Kami berenam pun segera turun dari traven dan memasuki villa itu, setelah membangunkan Bima dengan tenaga 5 orang.! Dasar, cakep-cakep bangunnya susah. Ileran lagi.. Ih..
“Kak, Nadya malu banget tadi..” bisik Nadya, saat kami memasuki villa.
Kami berdua berjalan di belakang keempat anak lelaki.
“Kapan, De?” tanyaku, bingung.
“Ih, sok lupa deh… Tadi,, waktu bangunin Kak Yudha..” jawabnya, menunduk malu.
“Ngapain malu? Biasa aja. Orang aku tadi bangunin Mike aja bia—”
Tangan Nadya langsung menggamitku dan menyeretku ke belakang.
“Kakak suka Kak Mike?!” pekiknya.
Beruntunglah aku sedang bercakap-cakap dengannya, yang bisa mengontrol suaranya.
Ups,,, aku tadi keceplosan. Jujur, aku menyimpan sedikit rasa dengan Mike. Namun, sedikit rasa sama banyak rasa sama aja.. Sama-sama ada rasa..
Aku merasa tak perlu menjawabnya. Dengan “keceplosan”ku tadi, sudah tidak ada yang bisa disanggah.
“Bener, Kak?” pekik Nadya lagi.
“Iya deh, iyaa.. Aduuuh bawel amat ya, adekku yang satu iniii..” jawabku, menekan keningnya.
“Kalian ngapain, sih?” tiba-tiba Mike menghampiri kami.
“Ngg,,, tadi ada yang mau diomongin Kak. Masalah pribadi cewek, kok. Eh, Kak Mot, Kak Pil, Nadya duluan ya.. Kebelet pipis..” jawabnya, mengerling lucu ke arahku.
Ih, ingin rasanya ku jitak kepalanya.
“Ngomongin apaan sih, Mot?” tanyanya tenang, menatapku dengan tatapan teduhnya (kalo kehujanan bisa dibuat berlindung, tuh. Ngaco mode on.).
Miiiiike, jangan natap aku kaya gituu.. Biasa aja.. Udah, jangan liat ke arah siniii.. dalam hati aku berseru. Tatapan teduh itu yang tidak pernah dan tidak akan dimiliki oleh orang lain.
Ketika aku menceritakan hal ini (perasaanku pada Mike) pada Bunda, beliau tergelak.
“Bener kan, apa kata Bunda? Sahabat bisa jadi lebih dari sahabat…” godanya.
“Mot… Kok ngelamun, sih? Helloooo..” Mike menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan mataku.
Sontak aku kaget.
“Eh, eh, nggak ngomongin apa-apa kok, Mike. Pribadinya cewek..” jawabku, menunduk.
Oh God, kenapa salting gini sih, jadinya?
“Ya udah. Yuk? Anak-anak udah pada masuk. Kita masih disini.” Ajaknya. Kata “Kita” barusan terasa menyengatku.
Oh God, kenapa gini sihh?
“Yuk Mot… Kok ngelamun mulu, sih?” ajak Mike lagi.
“Oh, iya iya ayok.. Nggak, nggak ngelamun, masih ada sisa ngantuk aja..” Ah, sepertinya berbohongku sungguh terlihat. Masa bodoh deh.
Dan seperti biasa, ia menggamit pergelangan tanganku.
Kali ini aku merasakan sensasi yang berbeda.
Mungkin ini “Masa Indah” seperti yang orang-orang katakan.
***
“Gimana, Kakakku Sayang?” tanya Nadya, mengerling.
Kami berdua sedang berada di kamar wanita.
“Apanya yang gimana?” tanyaku, menghempaskan tubuhku di sofa kecil yang berada di dalam kamar.
“Tadi.. Actingku keren, ga?” semakin aneh pertanyaannya.
“Kapan sih?” tanyaku balik.
“Tadi.. Acting pura-pura kebelet pipis..” jawabnya lagi, mengerling lagi.
“Huu dasar.!” Timpukku, menggunakan bantal kecil yang berada di sofa.
“Gimana tadi, Kak?” tanyanya, duduk di sebelahku. Bersiap mendengarkan.
“Jujur ya Dek, ini pertama kalinya aku ngerasain Cinta Monyet. Jadi ya masih terkaget-kaget dengan semua yang Kakak rasakan… Tadi tuh ya, dia ngajak aku segera menuju ke villa. Dia bilang: ‘Kita masih disini. Yang lain udah pada masuk.’ Tapi entah kenapa, “kita” yang dia ucakan itu rasanya terdengar enaaaaak banget. Trus, dia ngajak aku ke villa ini, yaaah menggandeng lah. Aku kan udah sering gandengan sama dia.. Tapi kali ini sensasinya beda..” ceritaku, agak malu juga.
“Waaaaah, Motcu lagi Monkey Love, yaaaa?” tiba-tiba pintu kamar kami terbuka.
Muncullah Bima.
“Bimaaaaaaa.. Kok masuk kamar cewek sembarangan, sih?” pekikku malu.
Nadya sibuk menjerit-jerit, karena ia sedang melepas jilbabnya.
Setelah Nadya memakai jilbabnya, kami menuruni satu-persatu anak tangga dan berkumpul di Ruang Tengah.
“Eh, eh, Si motcu lagi Monkey Love, nih…” goda Bima.
Sepertinya ia tadi mendengar kalimat terakhirku. Semoga ia tidak bisa menebaknya.
“Oh ya? Sama siapa, Mot?” tanya Yudha, membuka lemari es.
“Engga sama siapa-siapa. Tikus sotoy tuh. Sok tahu.” Jawabku acuh, memainkan handphone-ku.
Sebenernya ngga ngapa-ngapain. Cuma, biar mereka berempat—khususnya Mike—nggak tahu kalo aku bohong.
“Aku ngga sotoy. Tadi waktu aku lewat kamarnya anak cewek, aku denger Motcu bilang: ‘Padahal aku kan udah sering gandengan sama dia.. Tapi kali ini sensasinya beda..’” Bisma menjelaskan, memberi kutip.
Aduh, bener banget. Tadi aku ngomong gitu..
“Sama Indra yaah? Ciyeeeeee..” seru Mike, menyalakan TV.
Biasa, main PS.
“Kak Indra bersemu tuuh….” Bisik Nadya menggoda.
Ku tatap dia, tajam. Lantas ia berhenti menggoda. Haha, tidak ada maksud membuatnya takut..
“Hih? Enggak..” jawabku, kali ini tidak berbohong.
“Bima kali.. Kan cakep..” Indra ikut angkat suara.
“Cakep tapi rakus, ileran… Ih, bikin ilfil ajaa..” godaku.
Sontak sebuah bantal melayang ke kepalaku. Tentu saja berasal dari tangan Bima. Dasar anak basket, lemparannya ga pernah melenceng.
“Mike juga lumayan cakep..” Yudha ikut nimbrung.
Entah hanya perasaanku atau benar terlihat, pipiku merona.
“Dek, ke atas aja yuk. Anak-anak berisik.” Ajakku, menggamit pergelangan tangan Nadya yang tentu saja menurut.
Sementara itu, keempat lelaki di ABG kembali sibuk ngerumpi (Heran, cowok-cowok kok suka ngerumpi).
Motcu suka siapa, sih? Jahat banget, kita nggak dikasih tau.. Mike kali.. Eh, Bima kan lebih cakep.. Indra kali, kan Indra suka sama Motcu juga.. Tapi ada kemungkinan juga lo suka sama Yudha.. Siapa sih? Akbar? Ih ga mungkin lah… Trus siapa? Ah, masa bodo. Ntar juga kita dikasih tau. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat..
***
Tok.. Tok…
“Siapa? Masuk aja.!” Seruku, membalas sms Bunda yang menanyakan kabar.
“Aku, Cha. Beneran boleh?” ijin seseorang dari luar sana.
Mike apa Yudha, ya? Suara mereka mirip, sih.
“Ho’oh. Masuk aja!” seruku lagi.
Cklek! Pintu terbuka.
Ku longokkan sedikit kepalaku. Dan aku butuh waktu untuk mengatur nafas. Mike.
“Ada apa,Pil?” tanyaku, berusaha tenang.
Berusaha tidak terlihat gugup.
“Main yuk.” Ajaknya.
“Anak-anak kemana? Kok sepi?” tanyaku, heran.
“Cari jagung bakar.” Jawabnya santai.
Nadya juga nggak ada..
“Nadya juga?” tanyaku gugup.
“Iya. Semua.”
“Kok nggak ajak-ajak sih?” entah kenapa, aku ingin marah.
“Gimana sih, Mot? Kamu kan ga suka jagung..” Mike mengingatkan.
Benar-benar aku sedang di luar kendali. Aku sering banget ditinggal berdua sama Mike, sedangkan mereka keluar mencari sesuatu. Tapi kali ini hawanya beda..
“Kamu? Kenapa ga ikut?” tudingku.
“Kamu bener-bener lemot atau pikun sih, Cha?”
Loh, kok jadi marah?
“Cha, sadar deeeh… Aku anti sama semua makanan yang dibakar… Kamu ga suka jagung, aku ga suka bakar.. Dan mereka cari jagung bakar.. Masa aku mau ikut? Kamu ini kenapa, sih? Hari ini kayanya ga connect deh… Dari tadi pagi aku ajak ngomong kok diem aja. Ga serame biasanya.” Morgan berbusa-busa.
Karena aku ada rasa sama kamu, Mike… Kalo kamu ngerti, kamu ga bakalan perlu tanya kaya gitu.. Maaf ya Mike, mungkin aku yang serame dulu bakalan diam seribu bahasa di depanmu…
“Oh iya Cha, kita maen PS yok.” Ajak Mike kemudian.
“Kamu bawa games apa aja?” tanyaku, berusaha sesantai mungkin.
Sebiasa mungkin.
“Guitar Hero, Winning Eleven, PES, Counter Strike, banyak deh. Pasti kamu suka. Aku tahu seleramu. Ayooo..”ajaknya, menarik pergelangan tanganku.
“Ayoooooo..” kuiyakan, lantas berusaha kuhilangkan perasaan ini.
Meski ku tahu, akan sangat susah. Yaah, tapi paling tidak, aku ingin menghilangkan sifat saltingku. Semoga bisa.
“Mike, laper nih.” Celetukku, di tengah loading-nya sebuah games.
Sekaleng snack yang berada di antara kami berdua telah kami babat habis.
For Your Information, Mike termasuk lelaki yang jago memasak. Nggak salah dong, kalau aku ngomong aku laper. Siapa tahu dia berbaik hati. Hihihi…
“Trus?” tanyanya acuh.
Mata hijaunya terus menatap layar televisi.
“Selalu, deh. Kalo udah main PS, nggak peduli sama sahabatnya.” Pura-pura manyun, aku beranjak.
Pura-pura meninggalkannya.
“Eh, eh, Cha, mau kemana?” tahannya, melihatku menuju ke pintu masuk villa.
Melihatku akan keluar dari villa.
“Mau cari makan. Yaaah paling nggak aku akan duduk di pinggir jalan, trus bilang: Kasihani saya, Bu.. Pak.. Saya belum makan karena sahabat saya yang tidak peduli pada saya..” godaku, tetapi pura-pura memasang mimik wajah serius.
“Eh, eh, jangan ngambek gitu dong, Cha…” mohon Mike.
Aku nggak pinter acting, kenapa dia tertipu sama acting ngga bagusku ya?
“Aku hitung sampe lima. Kalo belum sampe dapur...” ancamku.
“Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. Li—”
“Iya, iya, Cha. Nih liat nih, aku ke dapur.” Sungutnya.
“Mike, kalo masak sambil marah-marah jadinya nggak enak lo..” godaku, mengerling ke arah Mike yang sedang memotong bawang Bombay seraya bersungut-sungut.
“Iya, iya.. Ngga marah lagii..” jawabnya acuh.
Namun, aku tahu, dia benar-benar sudah tidak marah.
“Masak apa, Mike?” tanyaku.
Bosan juga bermain PS sendirian.
“Farmers Omelette…” jawabnya singkat, mengupas kulit daun bawang dan memasukkannya ke oven sejenak.
“Boerenomelet kali, Mike.” Ujarku membenarkan.
“Aku benci mendengar kata itu. Sekali Farmers Omelette tetap Farmers Omelette…” sungutnya.
“Ih, kenapa sih? Kan aku cuma menyebutkan nama aslinya. Well, omelet ini kan omelet tradisional Belanda…” ujarku lagi.
“Memangnya salah kalau aku menyebutnya Farmers Omelette? Aku kan hanya menerjemahkan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Inggris..” ujarnya bersungut-sungut.
“Ya udah deh, terserah kamu aja. Pokoknya harus enak.” Godaku, mendorong pelan pundaknya.
“Aku bakal bikinin masakan andalanku, kalo sampe ini nggak enak.” Ujarnya berjanji.
“Wah… kalo gitu, ntar aku bilang masakanmu nggak enak aja. Biar aku dimasakin Ayam Madu..” godaku, menelan ludah.
Sungguh, Ayam Madu masakan Mike tiada dua.
“Yaaaaah ga boleh gitu, dong… Udah deh, kamu duduk manis aja disana… Daripada disini, mengganggu.” Ucapnya tenang, mendorong tubuhku ke arah ruang tengah.
“Yeeee orang cuma tanya dibilang ngganggu.” Sungutku, pura-pura sebal.
***
“Chaaaa udah jadi niiih…” seru Mike, menghampiriku yang tengah sibuk memainkan games di I-Phonenya.
“Woooo pinter banget.. Piringku dibawain….” Tawaku, melihat ia berjalan ke arahku membawa dua piring berisi Farmers Omelette—kita ikuti bahasanya Mike aja yaa, ntar ngambek kalo gak diturutin. Hehe..—.
“Nggak mau? Padahal aku lagi baik, loh…” godanya.
“Loh, siapa yang bilang nggak mau?” sungutku, lantas tertawa.
Kami pun memakan Farmers Omelette masing-masing serta Orange Juice yang tersedia di lemari es. Seraya tertawa bersama. Layaknya sepasang sahabat yang sedang bercanda bersama.
“Assalamu’alaikum… Chaaaa, Mikeee!” terdengar seruan serta salam dari arah pintu masuk villa.
“Wa’alaikumsalam…” kami berdua menjawab salam keempat sahabat kami, lantas meneruskan makan malam kami yang tinggal beberapa sendok lagi.
“Ya Allaaaah, ditinggal sebentar aja udah dinner berduaan….” Goda Yudha.
“Excuse me?” sungutku.
“Pardon?” sungut Mike.
Bersamaan. Sama arti. Hanya beda bahasa. Inggris dan Perancis.
“Tuh… Udah jawabnya kompak, artinya sama.. Untung ga sama bahasa…” sahut Bima, nyeleneh lagi.
Ku lirik Indra. Hanya terkikik pelan.
Ku tatap Nadya. Tertawa lepas.
Sepertinya aku tahu, kenapa sekarang mereka berkata seperti ini..
“Ngomong apa, sih?” Mike berusaha mengabaikan, membereskan piringnya.
“Tau’ tuh. Ga jelas.” Kuabaikan pula, beranjak ke arah dapur untuk mencuci bekas peralatan makan malamku.
“Ga jelas gimana, Cha? Kamu kan suka sama—” Indra angkat suara.
“Hah?” Mike terkesiap.
“Heh?!” seruku kaget (juga).
“Iya tuh Cha. Kamu kan suka sama di—” Yudha nimbrung.
“APAAN, SIH?! BERISIK!” bentakku garang, berlari keras menaiki satu-persatu anak tangga menuju kamar wanita.
Entah kenapa, amarahku rasanya sudah mencapai ubun-ubun. Ini sudah keterlaluan. Sudah satu tahun persahabatan dijalin, apa dengan begitu mudahnya Nadya membocorkan rahasiaku?!
Aku tidak bermaksud memfitnahnya, tapi hanya dia dan Bunda yang mengetahuinya. Nggak mungkin banget, nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba Bunda kasih tahu ke temen-temen. So, pasti Nadya lah.
Aku menulis cepat-cepat di diaryku. Antara perasaan marah bercampur tidak percaya.
Dear, My Star…
Jangan lihat sebuah buku dari sampulnya. Jangan melihat seseorang dari wajahnya. Sifat seseorang tidak selalu sesuai dengan rupanya. Mungkin lebih baik seseorang yang buruk rupa tetapi mempunyai hati sebaik malaikat. Daripada wajah seperti malaikat penjaga surga, ternyata hatinya seburuk syaitan pengisi neraka.
Bener-bener ga nyangka Star, Nadya yang secantik itu, ternyata sekejam itu. Aku tahu, Yudha-Bima-Indra sahabatku juga,, dan sesama sahabat memang seharusnya tidak perlu ada rahasia. Tapi ada saat-saat ktk sebuah rahasia tidak perlu disebarluaskan.
Ada saat-saat ktk rahasia itu benar-benar menjadi pribadi. Privacy. Aku nyesel udah kasih tahu ke Nadya kalo aku suka sama Mike, aku ngga nyangka bakalan kaya gini jadinya.
Selama ini, ia selalu memberikan senyumannya. Tidak hanya senyuman, tetapi juga sifatnya yang menurutku patut diacungi jempol dan patut untuk diberi kepercayaan memegang suatu rahasia….
Tapi nyatanya? Dia nggak lebih dari seorang penusuk. Di depanku, dia berjanji. Berjanji bahwa akan memegang rahasia ini dengan baik.
Dan ternyata dia tega membeberkan semuanya ke temen-temen. Memang belum terang-terangan memberitahunya ke Mike, tapi secara nggak langsung dia udah memberitahukannya. Perlahan tapi pasti.
Star, aku kecewa. Kecewaaa banget. Boleh ga aku nangis sekarang?
Tangisan, bukan karena aku ngga mau rahasiaku jadi diketahui oleh orang lain.. Maaf, bukan orang lain, sahabatku sendiri…
Tetapi tangisan ini lebih menuju ke arah kecewa. Aku sudah memberi harapan dan kepercayaan yang besar kepadanya. Apa yang terjadi?
Semudah itu ia membeberkannya. Semudah itu ia mengabaikan kepercayaan besar yang telah kuberi khusus untuknya.
Ku tahu tangisan ini pasti sia-sia. Sampai tangisanku merendam kamar ini pun, mereka bakalan tetep tahu kalo aku suka sama Mike. Karena itu, aku paling males nangis, cz semuanya pasti sia-sia.
Tapi bolehkah, malam ini saja, sekali ini saja, aku menangis karena kecewa. Karena sembarangan menaruh kepercayaan kpd seseorang. Entah aku terlalu egois atau memang ini yang harus aku lakukan.
Menyesalinya.
Entahlah.
Ternyata meletakkan kepercayaan besar tidak bisa di sembarang tempat. Tidak semudah yg aku kira..
Jogja,, Senin, 13 Juni 2013…
“Kak!” pintu kamar digedor keras.
Tentu saja, pintu kamar wanita telah ku kunci dari dalam.
Ku buka pintunya dari dalam, dan segera berlari menuju kamar mandi yang berada tepat di sebelah pintu masuk kamar wanita. Akan ku hapus air mataku disana.
Entah apa yang akan terjadi nanti. Akankah aku membencinya atau dengan mudah memaafkannya, aku tak tahu. Yang pasti, aku tak ingin tangisanku barusan diketahui oleh siapapun, bahkan Nadya sekalipun.
“Kakak nangis?” Nadya bertanya cemas, ragu-ragu.
“Kakak nangis?” Nadya bertanya cemas, ragu-ragu.
Ku angkat bahuku, malas menjawabnya.
“Ini apa?” tanyanya, mengambil diaryku di atas kasur.
Ku rebut diaryku dari tangannya.
“Ga sopan. Ini pribadi.” Ujarku ketus, sebelum ia sempat membuka dan (mungkin) membaca isi diaryku yang tentunya sudah terisi dengan tulisan tangan tidak rapi milikku.
“Diary?” tanyanya pelan.
Ku angkat kembali bahuku, memasukkan diaryku ke dalam koper dan meletakkannya di dasar koper.
“Boleh.. Nadya lihat?” tanyanya lagi.
Sungguh pertanyaan menyebalkan yang sama sekali tidak perlu dijawab.
“Sekali pribadi tetep pribadi. Sekali rahasia tetap rahasia. Dan sekali kecewa tetap kecewa.” Jawabku ketus, sedikit menyindirnya dengan kalimat terakhirku.
“Kakak.. kecewa sama Nadya?” takut-takut ia bertanya.
“Kakak udah meletakkan sebuah kepercayaan yang besar ke kamu.. Udah kasih tahu rahasia yang lumayan besar ke kamu.. Karena kakak pikir, dengan persahabatan kita yang sudah terjalin selama 1 tahun lebih, tentunya kita bisa saling menjaga rahasia… Tapi nyatanya? Kamu benar-benar bikin kakak kecewa!” seruku ketus, menatapnya tajam.
“Nadya minta ma—”
Ku tutup pintu kamar mandi. Bukan karena tidak ingin memaafkannya, tetapi aku merasa kecewa dengan diriku sendiri. Apakah egoku memang terlalu tinggi?
Ku coba meredam amarahku dengan merendamkan diri di bath tub. Ku coba melupakan segalanya. Ini sudah malam, tapi air dingin (bodohnya aku, mengapa tidak memakai air hangat saja?) yang mengaliri tubuhku seperti hanya angin lalu. Mungkin hanya dapat me-refresh sejenak pikiran serta jiwaku.
Hanya sejenak…
***
“Kakak mau kemana?” tanya Nadya heran.
Memang, aku mengambil jaket, bantal, guling, dan selimut.
Sekali lagi ku angkat bahuku.
Malas menjawab pertanyaan tak pentingnya.
“Kakak boleh ngambek, kecewa, dan marah sama Nadya. Tapi Nadya mohon, jangan aksi bisu gini..” pinta Nadya, suaranya bergetar.
Aku tahu tanda-tanda suaranya yang seperti ini. Ia akan menangis.
“Ke bawah.” Jawabku malas, malas melihatnya menangis.
“Ngapain? Kakak-kakak yang lain udah pada tidur.. Besok pagi kita berangkat ke Parangtritis.. Ini udah jam setengah sebelas, kakak mau ngapain di bawah?” ceracaunya.
Bawel banget sih… Ku kerlingkan mataku, malas.
“Tidur di bawah. Kan ada sofa puaaanjaaaang tuh.” Jawabku malas, sedikit menguap.
Aku bersiap membuka pintu kamar wanita, berlalu karena sudah terjadi hening panjang di antara kami. Kedua kelopak mataku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
“Kak! Tunggu sebentar!” seru Nadya, menahanku.
“Ya?” tanyaku dengan berusaha membuka mataku yang sudah mulai redup.
“Tunggu sebentar… Ada sesuatu yang mau Nadya kasih ke Kakak..” jawabnya, menuliskan sesuatu di secarik kertas dengan cepat
“Kakak udah ngantuk. Besok aja ngomongnya.” Ujarku cepat, malas.
Lantas berlalu.
Lebih baik menunggu hari esok daripada menunggunya menulis sesuatu—entah apa—untukku malam ini. Aku sudah sangat mengantuk.
“Ya sudah ga papa, selamat malam.” Jawabnya.
Namun sudah ku turuni anak tangga, tanpa ku dengar ucapan selamat malam darinya.
***
“Kakak.. Kak…” sebuah suara nan halus memanggilku, serta tangan halusnya mengguncang tubuhku dengan lembut.
Sudah pasti itu suara dan tangan Nadya. Aku benar-benar sudah tidak mengantuk, namun aku malas bangun. Apalagi ia yang membangunkanku.
“Chaaa…” Yudha mengguncang tubuhku, membantu Nadya.
Masih malas.
“Mooooot…” Indra pun ikut turun tangan.
Sekali malas tetap malas.
“Ga biasanya dia bangun kesiangan…. Chaaaa,, Woooy Nesya Zafiraaa… Banguun!” Bima yang paling heboh membangunkan.
Emang dia nggak nyadar apa, dia tuh kalo tidur ga pernah bangun pagi. Dan ga pernah gampang buat bangunin dia. Huh.
“Miiiiiikee!” entah mengapa, tiba-tiba Yudha memekik, memanggil Mike (yang entah berada dimana).
“Apaa?” serunya, terdengar dari dalam kamar mandi karena suaranya menggema.
“Kamu mandi?” tanya Bima.
“Enggak, aku mancing,” jawabnya asal. “Kenapa sih?”
“Niih si Motcu ga bisa banguuun!” pekik Indra.
“Trus kenapa panggil aku? Masa kalian berempat ga bisa bangunin Echa?” serunya.
“Udah deh Kaaak, pokonya cepetan mandinya! Kalo ada Ka Bepil, Kak Echa pasti gampang bangunnya!” seru Nadya, yang membuatku sangat ingin menamparnya.
Apa kejadian semalam masih tidak bisa menyadarkannya?
“Ngomong apa sih, Dek?” seru Mike, yang ternyata sudah menyelesaikan mandinya dan keluar dari kamar mandi.
“Nih, coba aja deh kamu yang bangunin…” Indra berujar.
Lantas keempatnya berlalu, memberi jalan untuk Mike membangunkanku. Kurang ajar.
“Moott.. Wooooy! Kok kesiangan gini sih? Wooyyy! Kenapa susah banget sih bangunnya?” Ini namanya bukan membangunkan, tapi memaksa.
“Ah, biarin aja deh! Ntar juga bangun-bangun sendiri!” Mike menyerah.
Tak beberapa lama, aku bangun dari kepura-puraanku. Capek dan bosan juga rasanya.
“Udah bangun, Cha?” tanya Yudha.
Huh, just making conversation again! Basa-basi!
“Well, seperti yang kamu lihat.” Jawabku dengan suara berkumur, lantas beranjak menuju kamar mandi untuk menggosok gigiku serta berkumur dengan obat kumur yang ku bawa dari rumah.
“Keluar deh, cueknya…” Bima menyahut, membuka lemari es.
“Kenapa, sih?” tanyaku sewot.
Lantas tatapanku tertuju pada pakaian Bima.
Memakai sweater hitam, celana hitam, serta sepatu kets putih miliknya.
Yudha?
Memakai kaos hijau dan celana putih, serta sepatu kets warna hitamnya.
Indra?
Memakai cardigan biru, celana jeans, dan juga sepatu kets warna hitam dengan motif garis-garis merah miliknya.
Memakai cardigan biru, celana jeans, dan juga sepatu kets warna hitam dengan motif garis-garis merah miliknya.
Nadya?
Memakai kaos biru yang dilengkapi dengan jaket warna putih, celana jeans (yang tidak ketat), sepatu pantofel warna hitam dengan tali putih menawannya, serta jilbab berwarna putih.
Dan.. Ehm,,, Mike?
Ia terlihat santai dengan kaus berlengan pendek warna merahnya dan celana panjang jeans hitam. Serta sepatu kets berwarna putih bermotif garis-garis vertikal hitam.
Tuing! Tuing! Setelah lama berfikir, akhirnya sebuah pertanyaan meluncur dari bibir mungilku.
“Pada mau kemana?” tanyaku, menguap lagi.
“Ke Parangtritis, Kakakku Sayang..” jawab Nadya lembut.
“Jangan pernah manggil aku dengan sebutan itu.” Ujarku ketus, dingin.
“Weey ada apa ini?” tanya Yudha terkejut.
“Nggak ada apa-apa.” Jawabku malas, lantas berlalu dari hadapan kelimanya.
“Biasanya kan, malah suka kalo dipanggil ‘Kakakku Sayang’..” celetuk Bima, memberi tanda kutip.
Ku naiki anak tangga dengan cepat dan emosi yang meluap-luap.
“Cha! Woy!” Mike berseru.
Aku berhenti sejenak.
Menoleh.
“Ada apa?” tanyaku, sedikit garang.
“Kamu ga ikut ke Parangtritis?” tanyanya kemudian.
“EHM!” Yudha, seperti biasa… berisik.
Ku kepalkan tinjuku padanya, sontak ia diam. (hehehe)
“Gak. Aku gak ikut. Aku di rumah aja.” Jawabku ketus, nyaris berlalu.
“Cha! Tunggu sebentar!” pekik Mike lagi.
“Apa lagi?” tanyaku, melengos.
“Kok kamu ga ikut?” tanyanya heran.
“Emang kenapa kalo aku gak ikut?” tanyaku balik.
“Gak seru, dong… Nanti aku bikin istana pasir sama siapa? Yang mau bikin istana pasir kan cuma kamu..” rajuknya, seperti anak TK yang ingin membolos sekolah.
Memang, bila anak ABG bermain ke pantai, ia selaluu…saja membuat istana pasir. Dan hanya aku yang mau ikut dengannya.
“Cari aja anak Te Ka, trus ajak main.” Jawabku ketus.
“Cha… jangan gitu, dong… Yok, ikut ya?” mohonnya.
“Nggak.” Jawabku malas, lantas berlari menuju kamar wanita.
***
“Kak…” dengan halus, Nadya mengetuk pintu kamar wanita.
“Masuk!” seruku, memeluk bantal kecil di sofa seraya membaca sebuah novel.
Kriet..
“Kakak beneran nggak ikut?” tanya Nadya serius.
“Sekali aku ngomong nggak ya nggak.” Jawabku tegas.
“Tapi kita berenam kesini kan, niat utamanya buat ke Parangtritis.. Kok Kakak malah ga ikut?” tanya Nadya lagi.
“Udah, ga usah basa-basi,” tusukku tajam. “Sekali nggak ya tetep nggak.”
“Bener?” tanyanya lagi.
Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaannya.
Selang beberapa lama, akhirnya ia beranjak keluar.
Menutup pintu.
Cklek.
***
“Chaaaaa… Beneran nih, ga mau ikut?!” tanya Bima, memasuki kamar wanita.
“Bener..” jawabku malas, membiarkan mataku terus berjibaku dengan novel yang ku baca.
“Kok ga ikut sih, Cha...?” Yudha ikut ambil suara.
“Ada atau nggaknya aku itu ga ngefek. Siapa sih aku?” sahutku cuek, lantas membalik halaman dari novel yang ku baca.
“Kamu sahabat kita, Mot. Ayolah, ikut ya?” pinta Mike, memegang pundakku.
“Nggak.” Tolakku, mengibaskan tangan Mike dari pundakku.
“Ga ada kamu sama aja kaya jalan-jalan sendirian, Cha. Kamu emang cuek, tapi asik. Ikut, ya?” pinta Indra.
“Nggak ya nggak.” Tolakku, tegas.
Harus berapa kali aku bilang kalo aku ga mau ikut.? Dasar teman-teman keras kepala…
“Tapi kita kan belum pernah ke Parangtritis, Cha…” sahut Yudha lagi.
“So what?” tanyaku, malas.
Mengerling ke arah Yudha.
“Yaaaah, masa ke Parangtritis untuk yang pertama kali, malah tanpa kamu..” Bima ikut membujuk.
“Kan ada Nadya.” Jawabku malas.
“Tapi Nadya kan ga seseru kamu..” bisik Mike, takut terdengar oleh Nadya.
“Lagian, Nadya kan ‘cewek’..” bisik Indra, memberi tanda kutip.
Keempatnya terkikik, tapi entah mengapa aku tidak tertarik untuk ikut tertawa bersama mereka.
“Kalo nggak mau ya nggak usah ke Parangtritis. Follow your heart.” Jawabku singkat, malas meladeni mereka lagi.
“Tapi kan—”
“Belum pernah kesana? Pengen kesana? Ya udah kesana aja.” Potongku.
“Ya tapi kita ga tega sama ka—”
“Ngga usah mikirin aku. Aku nggak papa.” Potongku lagi, lebih dingin.
Akhirnya mereka semua menyerah.
“Kak, tolong lihat sesuatu di bawah bantalku.” Bisik Nadya, hampir tidak terdengar.
Lantas ia berlalu, meninggalkanku bersama keempat sahabatku yang lain.
***
Ku coba mengabaikan perintahnya tadi. Namun, entah mengapa seluruh anggota tubuhku rasanya menolak kata hatiku. Aku tahu apa artinya ini.
Aku telah membohongi diri sendiri.
Lambat-laun, ku dekati kasur yang hanya berjarak beberapa langkah dari sofa yang ku duduki.
Ku sibakkan bantalnya, dan ku lihat secarik kertas ada di baliknya, terlipat dengan begitu rapi. Perlahan ku baca surat dari Nadya itu. Mungkin ini sesuatu yang semalam ingin diberikannya padaku…
Dear, Kak Nesya Zafira.. My dearest sister..
Maaf klo Nad udah bikin Kakak kecewa… Nadya ga bermaksud buat bocorin rahasia Kakak.. Andai Kakak tahu alasannya, mungkin Kakak ga sekecewa ini ke Nadya…
“Kenapa sih? Alasan apa?”
Ku hentikan bacaanku, menghela nafas. Bersiap menerima sesuatu. Semoga bukan sesuatu yang buruk..
Nyatanya…
Kak, sebenarnya ada sesuatu yg Nad rahasiain dari Kakak.. Dan,, Kak Yudha, Kak Bima, Kak Indra, dan Kak Mike tahu akan rahasia ini..
Berhenti lagi. Dia mempunyai rahasia yang diketahui oleh seluruh anak ABG kecuali aku. Ya Allah, ada apa lagi ini? Seolah membaca isi pikiranku, ia menulis…
Kakak jangan negative thinking dulu sama Nadya, dan jangan berhenti dulu baca surat ini. Surat ini masih panjang..
Oh iya, maaf Nadya jadi ngelantur… To the point aja ya, sebenernya kemarin itu aku dipaksa sama Kak Yudha-Bima-Indra buat kasih tau siapa cowok yg kakak suka.. Dan mereka ngancem Nadya,,, kalo Nadya ga kasih tahu siapa cowok yg Kakak suka, mereka bakalan bocorin rahasia Nadya ke Kakak..
Berhenti lagi..
“Rahasia apa, sih? Kok sampe dia rela bocorin rahasiaku? Seberapa penting kah rahasianya?”
Tapi Nadya jadi berfikir dua kali, Kak…
Kalo Nadya ga kasih tahu rahasia Kakak, mereka berempat akan bocorin rahasia Nad ke Kakak..
Kalo Nadya kasih tahu rahasia Kakak, mereka bakalan diem.. Tapi pasti Kakak bakalan marah ke Nadya dan Nadya harus jelasin rahasia Nadya.. Jelasin langsung ke Kakak..
Tapi Nadya lebih milih yg kedua, karena Nadya pikir kalo mereka yg kasih tahu ke Kakak, ntar mereka nambahin dan ngurangin apapun…
Lebih baik Nadya ngaku sendiri aja..
Maaf kak, Nadya jadi ngelantur. Langsung aja ya Kak, sebenernya Nadya itu punya penyakit jantung bawaan. Setiap nafas Nadya ga beraturan, Nadya pasti bilang ke kakak2 yg lain, atau Nadya lari ke kamar mandi.. Nadya ga mau bikin Kakak repot.. Maaf atas semuanya ya Kak… Dengan adanya surat ini, semoga Kakak bisa maafin Nadya, meskipun cuma sedikit… J
Your Sister and Your Best Friend,
Who always dear to you…
_Nadya Ayu Chairinnisa_
Sontak, ku usap kelopak mataku perlahan. Ada sesuatu yang basah di sana. Masya Allah, seegois inikah aku?!
Dan kini aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Segera beranjak ke kamar mandi, lantas berganti baju.
Kaos polos berwarna Biru, celana jeans, ditambah sepatu berwarna abu-abu. Dan… Jilbab berwarna biru yang senada dengan kaos yang aku kenakan.
***
“Badhe tindak pundi, Mbak yu?” dengan logat jawa yang kental, seorang lelaki paruh-baya memberiku sebuah pertanyaan.
“Maaf, Pak? Bahasa… Indonesia?” mohonku, pelan.
“Oh iya, Mbak. Maaf, maaf. Mbaknya mau kemana?” akhirnya beliau berbahasa Indonesia, meskipun masih lengkap dengan logat kentalnya.
“Ke.. Parang Tritis, Pak.” Jawabku, memainkan BB-ku.
Kuda pun mengayunkan kakinya. Sehingga membuat kendaraan umum yang kami naiki ini—belakangan ku ketahuin bernama andong—bergerak pelan, menerpa angin Jogja. Klutuk klutuk klutuk.. Derap kakinya menghiasi gendang telingaku.
“Mbaknya orang mana?” tanya lelaki berumur separuh baya itu, yang ku ketahui bernama Pak Yanto.
“Surabaya, Pak.” Jawabku, masih memainkan jemariku di atas tuts-tuts handphoneku.
“Kok ndak bisa bahasa jawa?” tanyanya lagi, mengayunkan tali untuk mencambuk sang kuda supaya berjalan lebih cepat.
“Saya asli Jakarta, Pak.” Jawabku, memasukkan handphone ke dalam saku celana panjangku.
“Rumah Mbak yang dulu deket Monas, ndak?” tanyanya penasaran.
“Lumayan sih, Pak…” jawabku santai.
“Wah… Saya dari dulu pengen ngajak anak-anak saya ke Monas, Mbak… Anak saya tiga, yang paling besar seumuran Mbak Nesya.. Yang kedua masih kelas 4 SD mau naik kelas 5.. Yang terakhir malah barusan masuk SD.. Saya harus cari pelanggan banyak Mbak, untuk membayar uang sekolah anak-anak..” Pak Yanto pun menuturkan kisah hidupnya.
Aku yang biasanya berlagak tidak peduli, entah mengapa tertarik mendengar penuturan Pak Yanto. Tidak hanya tertarik, tetapi juga menaruh simpati yang besar kepadanya.
“Ini sudah sampai, Mbak.” Ujar Pak Yanto, memberi tahuku.
“Berapa ongkosnya, Pak?” tanyaku.
“Rp 10.000,00 Mbak.” Jawabnya, lantas memberhentikan kudanya.
Ku keluarkan Rp 50.000,00 dari saku bajuku.
Ini uang terkecilku (Tidak bermaksud sombong.).
“Loh, Mbak? Kenapa banyak sekali? Saya tidak memiliki kembaliannya.” Ujar Pak Yanto kaget.
“Kembaliannya untuk Bapak saja.” Jawabku, menyerahkan Rp 50.000,00 kepadanya.
“Bener, Mbak? Wah jangan begitu, Mbak….” Beliau menolak dengan sopan.
“Nggak kok Pak, nggak papa. Kembaliannya buat Bapak saja. Sampai ketemu lagi, Pak.” Salamku, lantas beranjak meninggalkan andong Pak Yanto.
***
“Pil, kalian dimana? Aku di pintu masuk, nih!” seruku dari ujung telepon, menelepon Mike.
“Aku maen istana pasir, Mot! Tunggu ya! Aku jemput kamu! Kamu disitu aja!” pekiknya, dari ujung telepon pula.
Entah mengapa, mendengar semangatnya untuk menjemputku, rasanya… ah, jangan dibahas deh. Haha, perasaan yang pasti dirasakan oleh seluruh umat manusia.
Sayup-sayup, terdengar lantunan lagu dari sebuah tim nasyid bernamakan Gradasi. Seingatku, judulnya adalah “Anugerah Yang Terindah”…
Anugerah yang terindah…
Yang diberikan-Nya, kepada sluruh umat di dunia..
Ada rasa cinta..
Yang memberi arti, kehidupan ini..
Karenanya, ada pengorbanan….
‘Tuk buktikan nilai cinta..
Tapi mengapa masih ada rasa..
Dendam permusuhan antara kita.. (antara kita..)
Tiada sempurna..
Cinta manusia…
Hingga, dia mampu mencinta…
Sesamanya, tanpa ada perbedaan..
Tiada sempurna…
Cinta manusia….
Tanpa, berbagi rasa..
Kasih suci..
Anugerah yang indah..
Aku tersenyum pelan mendengar lantunan tersebut. Sesuai isi hatiku saat ini. Ah, sudahlah, jangan dibahas lagi..
“CHA!” pekik sebuah suara—yang pastinya Mike—ke arahku.
Benar saja, di depan mataku, ia melambai-lambaikan tangannya.
Aku pun mengayunkan langkah kakiku dan berjalan santai menuju ke arahnya.
“Kok kesini, Cha?” tanyanya, mengajakku kembali mengayunkan kaki ke arah lain; tempat anak-anak ABG berkumpul.
“Ada hal penting yang harus aku bicarain sama Batik.” Ucapku.
“LOH?!” serunya keras.
“Eh, apaan?!” tanyaku tak kalah keras.
Kaget. Hmm, bisa dibilang latah.
“Barusaaaan aja.. Batik sama Radum balik ke villa. Mereka berdua gak tega ninggalin kamu lebih lama lagi.. So sweet banget sih, si Radum?!” godanya.
“Ih, apaan sih…” ujarku malas. “EH? Beneran?! Batik balik ke villa?” pekikku kaget.
“Iya.” Jawabnya santai.
“Kalo gitu, sekarang juga kamu temenin aku balik ke villa!” perintahku egois.
“Loh? Tapi barang-barangku?” tanyanya.
“Aaaah ntar titipin Bepil sama Tikus ajaa.. Udaaah pokoknya sekarang kamu ikut akuuu!” paksaku, lebih egois lagi.
“Oke deh, oke..” angguknya, menurut.
Kami pun berbalik arah.
***
“MBAK NESYA?”
“PAK YANTO?”
Bersamaan, kami saling menyapa. Waah, ternyata Pak Yanto (yang tadi mengantarku kesini) lagi yang akan mengantarku—dan Mike—kembali ke villa.
Lantas kami bertukar senyum.
“Cepat sekali Mbak, ke pantainya?” tanya Pak Yanto, membuka percakapan.
“Nggak jadi, Pak. Orang yang saya cari ternyata udah balik.” Jawabku singkat.
“Berarti ini kita kembali ke villa yang tadi?” tanyanya.
Ku anggukkan kepalaku perlahan.
“Siapa, Mot?” bisik Mike, pelaaaaaaaan banget.
“Bapak ini yang tadi nganterin aku ke Parang Tritis..” jawabku, berbisik pula.
“Cepet banget akrabnya…” decaknya kagum.
Ku angkat bahuku.
“Masnya itu siapa, Mbak? Cowoknya, ya?” tanya Pak Yanto, menggoda.
“BUKAN!”
“BUKAN, PAK!”
Lagi-lagi bersamaan. Lantas kami tersenyum.
“Hayo.. Kompak sekali… Nggak papa kok Mbak, Mas, ngaku aja..” Pak Yanto tak henti-hentinya menggoda.
Ku berikan isyarat pada Mike. Biar aku saja yang menjawabnya.
“Bukan, Bapak.. Ini sahabat saya..” jelasku.
“Sahabat atau sahabat?” godanya lagi.
“Masya Allah, kita cuma sahabatan, Bapak..” jelas Mike, geregetan.
“Iya deh, iya.. Bapak ngerti.. Anak muda banyak rahasianya, deh…” sepertinya Pak Yanto masih belum puas.
Ku biarkan saja beliau berkata apa.
Ku perhatikan, ada yang aneh dengan penampilan Mike.
Kaosnya masih tetap yang tadi..
Celana panjangnya berubah menjadi Boxer..
Sepatu kerennya berubah menjadi sandal jepit..
Ku coba ku tahan tawaku.
“Udah nyampe nih Mbak, Mas…” ujar Pak Yanto.
“Makasih ya Pak…” ujarku.
Segera ku berikan selembar lima puluh ribuan kepada Pak Yanto. Bersamaan dengan itu, tangan Mike juga menyodorkan selembar lima puluh ribuan.
Ku tatap ia. Lantas tersenyum.
Pak Yanto menoleh ke arah kami berdua.
“Kompak sekali Mbak Nesya sama Mas Mike…” godanya.
Tawa kami pun melebur.
“Mbak, Mas, kalian berdua tidak perlu membayar kepada Bapak..” ujarnya santai.
“Loh, kenapa Pak?” tanya Mike.
“Mas, tadi waktu berangkat ke Parang Tritis, Mbak Nesya bayarnya lima puluh ribu.. Padahal tarifnya hanya sepuluh ribu rupiah saja.. Berarti Bapak tidak salah dong, kalau untuk perjalanan pulang ini Mbak sama Mas ndak perlu membayar?” jelasnya.
“Sudahlah Pak, terima saja..” paksa Mike.
Diserahkannya selembar lima puluh ribuan, lantas beranjak meninggalkan andong. Begitu pula aku.
Pak Yanto tak henti-hentinya mengucap terima kasih.
Kami pun segera mengayunkan kaki menuju gerbang masuk villa, tanpa kami tahu akan terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar