Sabtu, 29 Oktober 2011

Our Life: ABG's Life #Chapter Nine

                _Kehebohan Mading_
     “Kamu ngapain Cha, pagi banget berangkatnya?” suara Bima heran.
     Ku telepon dia pagi ini karena aku tidak bisa berangkat sekolah bersamanya. Suaranya pun masih berkumur, terlihat sekali bahwa dia baru saja bangun dari tidurnya.
     “Udah deh Bim, jangan bawel kamu. Sorry ya. Aku ada kegiatan yang harus aku kerjain dan aku harus berangkat pagi-pagi.” Setelah mengucap salam penutup, aku pun segera menutup telponku dan segera berangkat ke sekolah.
      “Nes, ada apa sih? Kok pagi-pagi banget, berangkatnya?” tanya Bunda, heran.
       Karena tidak jarang aku bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah.        
       “Sesuatu deh, Bun. Ini harus Nesya lakukan demi nama baik Nesya.” Jawabku santai.
        Ku oleskan sedikit selai cokelat kesukaanku ke dua tangkup roti tawar. Dengan gigitan yang lumayan besar untuk ukuran bibir mungilku, ku kunyah sarapanku kali ini.
        Bunda menatapku curiga.
        “Tenang, Bun… Nesya nggak bakal melakukan sesuatu yang aneh-aneh kok. Nesya janji.” Ku coba meyakinkan Bunda dengan mengacungkan kedua jariku. Symbol bahwa aku telah berjanji kepada Bunda, tidak akan terjadi sesuatu yang berlebihan. Aku benar-benar berjanji.
        “Ya sudah Bun, Nesya berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Pamitku.
        Ku cium tangan Bunda dan ku kecup pipi kanannya. Setelah membuat tali sepatuku agak berantakan meskipun sudah ku coba untuk merapikannya, aku segera melangkah menuju sekolah dengan senyum lebar tersungging.
        Bunda menjawab salamku lirih. Ku langkahkan kakiku pelan. Tiba-tiba ada SMS masuk. Dari nomer yang tidak ku kenal.
         Cha, kamu udah berangkat? Aku mau berangkat sekolah bareng kamu. Boleh? –Dea—
          Sontak kukernyitan keningku. Dea? Hmm, ada apa ya? Tapi, mana mungkin aku mengiyakan tawarannya? Aku berangkat sekolah pagi-pagi kan untuk memasang foto mereka berempat di mading.. Dengan sigap ku balas SMS-nya.
            Sorry De, aku nggak bisa.
            Senyum yang semakin lebar pun menghiasi wajahku. Ku percepat langkah kakiku. Akhirnya pintu gerbang SMP Kartika sudah di depan mata.
            “Pagi, Pak…” sapaku pada Pak Doddy, penjaga pintu gerbang sekolah kami.
            “Pagi, Nesya.. Kenapa datang pagi-pagi sekali?” tanya Pak Doddy ramah.
            Ku jawab pertanyaannya dengan senyuman. Senyuman penuh arti, menurutku. Aku pun segera berlari cepat, meninggalkan Pak Doddy.
            Sesampainya di depan mading sekolah kami yang berada di dekat lapangan utama, aku merogoh tasku. Mencari sesuatu yang sejak tadi malam mengisi mimpiku. 3 lembar kertas. Selembar berisi 5 keping foto, dan sisanya adalah “artikel”. “Artikel” yang sangat kubanggakan ini ku beri judul: “Rambut Pelangi, Cantik Sekalii.”
            3 lembar kertas ini kutancapkan di mading menggunakan paku payung yang tersedia sangat banyak di mading sekolah. Senyum lebar kembali menghiasi wajahku, puas dengan hasil kerjaku. Tinggal menunggu raut wajah keempat “Rambut Pelangi” ini. Semakin lengkap saja kebahagiaanku hari ini.
             Guyz, cepetan ke skul gih. Ada sesuatu yang mau aku tunjukin ke kalian. Dijamin kalian suka, khususnya Tikus. Cepetan yaa.
             Pesan singkat ini pun ku kirimkan kepada keempat sahabatku.
            Aku udah di jalan, sama Indra. (Bima)
             Aku udah di mobil kok sama Yudha. (Mike)
                “Haahahahahhahahaahahhaha…..” tawa pun berderai di antara kami berlima.
              Selang beberapa menit setelah SMS-ku tadi dibalas, mereka berempat sampai di sekolah.
               “Aku pengen tahu deh, raut wajahnya Dea ‘n Friend… Secara mereka ketua fans clubnya Bima. Mau ditaruh dimana tuh muka?” celetukan Indra membuat kami tertawa keras, bahkan hingga membuatku berderai air mata dan sakit perut.
               “Tapi.. mungkin nggak sih, kalo anak-anak nggak merhatiin mading?” analisisku, takut-takut.
                “Nggak mungkin lah. Masa mading segede dinding gitu nggak keliatan.” Sahut Mike.
                “Ya iyalah segede dinding. Namanya aja mading, majalah dinding.” Celetuk Yudha.
                “Kalo segede upil itu namanya majalah upil.” Celetukan Bima yang kali ini berhasil membuat kami tertawa keras.
                “Eh, eh, Dea cs dateng tuh.” Setelah beberapa menit terdiam, celetukan Indra membuat kami berlima terkejut.
                Sontak kami berlima menoleh ke arah yang ditunjuk Indra. Benar saja, keempat cewek “Rambut Pelangi” itu berjalan dengan angkuh. Sialnya, mereka berinisiatif untuk memakai jilbab. Mungkin, supaya rambut jelek mereka tidak terlihat. Kami berempat pun segera bersembunyi di balik semak-semak, dan tetap memandangi mereka berempat.
        Beberapa anak-anak SMP Kartika sudah mulai berbisik-bisik ketika Dea cs lewat di depannya. Tentu saja, hal ini membuat Dea cs menjadi bingung.
        “Ada apa sih, Nggi?” mereka bertanya kepada Anggi yang kebetulan lewat. Sekedar informasi, Anggi termasuk salah satu cewek yang tidak mengidolakan Bima. Hanya sebagai teman saja.
         “Hahaaha…” Tiba-tiba Anggi tertawa licik.
         Tak lama, Anggi + Dea cs telah dikelilingi oleh beberapa siswa SMP Kartika untuk menonton pertunjukan gratis ini.
         “Aku beruntung banget nggak jadi “pengikut” kalian. Pasti malu banget deh aku kalo sampe ikut-ikutan kalian, nge-fans sama BIMA.” Lanjut Anggi, memandang remeh ke arah Dea cs, ketua Fans Club Bima.
         “Maksudmu? Kamu ngerendahin kita, ya? Kurang ajar banget kamu, ya!” Dea sontak seakan meledak dan mengayunkan telapak tangan kanannya, seakan ingin menampar wajah ayu Anggi.
         “Kamu kira aku takut? Mo nampar? Ayo, tampar aja! Gratis kok!” tantang Anggi seraya memajukan pipinya.
          Menunjukkan bahwa ia tak takut dengan ancaman Dea.
          “Kamu berani ba—”
          “Ngapain takut sama kamu, HAH?” bentak Anggi garang.
          “De, hari ini kalian alim banget yaa…” sebuah celetukan terdengar keras.
          “Kenapa? Aku makin cantik, kan?” dengan tampang tanpa dosa, ia mengerling ke arah celetukan tadi, yang ternyata seorang anak lelaki.
          “Cantik dari mana, HAH? RAMBUT PELANGI KAMU BILANG CANTIK?!” bentak Anggi.
           Dengan jelas, wajah keempatnya terlihat pucat.
           Tanpa diduga, Anggi melepas jilbab keempatnya.
           “Rambut pelangi gini kamu bilang CANTIK?! Kamu bodoh, sok cantik, atau BUTA sih?! Katanya “Ratu Fashion”, masa rambut begini dibilang CANTIK?!” suara Anggi kian menggema di langit-langit SMP Kartika.
            Dea cs semakin pucat pasi dan keempatnya berusaha menutupi rambutnya. Jilbab yang tadi dipakai keempatnya dibuang ke tong sampah oleh Anggi. She’s my hero, deh! Serentak tawa meledak di seluruh penjuru SMP Kartika.
             “Mike-Bimaaaaa…” pekikku, di depan kelas 7A bersama Indra. Sesuatu yang hampir selalu ku lakukan setiap jam istirahat dimulai.
             “Oyyy, masuk aja Cha, Ndra!” dan selalu Mike ke sudut kelas. Benar saja, Bima sedang dikerubuti para “kucing”nya.
              “Tuh anak masih…aja banyak fansnya. Gimana tuh, kabarnya Dea cs?” tanyaku seraya duduk di bangku sebelah Mike.
              “Nohh, liat aja sendiri.” Acuh tak acuh Mike menjawabnya.
              “Kus, ‘ngantin’ yok.” Ajakku. “Ngantin” adalah bahasa gaulnya ke kantin.
              “Hah, iya ayo.” Jawabnya seraya menyeka peluhnya.
              “Hai De, Ta, Nin, Don. Apa kabar? Kalian makin cantik aja deh.” Sapaku seraya melemparkan ejekan.
             Ku kerlingkan mataku ke arah mereka.
             “Hai.” Jawab Dea acuh.
             “Cantik-cantik kok jutek sih, neng?” godaku lagi.
             Kali ini ku colek dagu lonjongnya. Dan sontak mereka berempat memajukan bibirnya *baca: manyun*.
             “Galz, Bima-nya aku pinjem dulu ya.. Boleh, kan?” izinku, mengerling lagi.
               Dengan malas mereka semua mengangguk.
               “Bim, tumben banget mereka pada ngebolehin aku ‘nyulik’ kamu?” tanyaku, membuat tanda kutip ketika mengucapkan kata “nyulik”.
               “Tau, tuh. Takut kali, punya “Rambut Pelangi”.” Kali ini Bima yang membuat tanda kutip.
               Tawa pun meledak. Dengan berangkulan, A Be Ge menuju ke kantin. Tanpa menyadari, di balik persahabatan yang indah ini ada 4 pasang mata yang mengawasi dan menggumam pelan.
               “Nggak semudah itu kita nyerah, Cha. Nesya Zafira bukan perkara yang susah.”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar