Sabtu, 29 Oktober 2011

Our Life: ABG's Life #Chapter Eleven

_Gossip Yang Bisa Disangkal_
    Aku menjalani rawat-inap di Rumah Sakit selama 3 minggu. Besok sudah waktunya untuk kembali ke sekolah. Dan kita masih menyimpan jam tangan Donna yang waktu itu tertinggal di Rumah Sakit.
      Aku, Yudha, Bima dan Mike sedang merapikan perlengkapan-perlengkapan kami. Memasukkannya kembali ke dalam tas. Sejak seminggu yang lalu, kita menginap di rumah Indra yang superrrrr-megaaaaaaaaaa-besarrrrr. Kamar tidurnya saja sebesar lantai 2 di rumahku. Benar-benar megah. Dan hebatnya, ia tidak pernah sombong karenanya. Jadi, aku menghabiskan liburanku kali ini,, 3 minggu di Rumah Sakit dan seminggu di rumah Indra.
      “Besok hari pertama kita berada di kelas 8 ya. Eh iya, kata anak-anak, pengumuman pembagian kelas bisa dilihat di website sekolah. Lihat yok?” tawar Indra, saat kami berempat sudah selesai membereskan segala macam perlengkapan.
      Mulai dari baju hingga bantal ileran kesayangan Bima. Ihh, cakep-cakep kalo tidur ngiler. Bikin ilfil aja nih anak.
      Kami berempat hanya bisa mengangguk. Setelah itu, Indra menulis nama “Muhammad Indra Ismail” di kolom pencarian.
      “8B, Cuyy!” pekiknya.
      Giliran Mike.
      “Raddduuuumm aku juga 8B!” serunya, memeluk erat tubuh Indra.
      Giliranku.
      “Waaaaah 8B juga..” ujarku, ber-high five ria dengan Mike dan Indra.
      Kini Bima..
      “8B jugaaaa..”
      Dan kini mulut kami komat-kamit, berharap Yudha juga berada di 8B. Dan, benar saja, kami berlima sekelas. Waah hal ini tentu saja membuat kami sangat-sangat-sangat bahagia tidak terkira.
      Dua hal yang membuat kami tidak berselera, kami sekelas dengan Dea cs dan AKBAR. Uuh, benar-benar mengurangi kebahagiaan kami.
***
     Kring, kring, kring, kring… Jam beker yang berisik itu segera ku matikan. Aku pun menggerutu pelan.
     “Bukannya hari ini masih li—Oh noo! Udah waktunya sekolah! Liburnya udah habis! Nesya bodoh, Echa bodoh! Nesya Zafira bodoooh!” gerutuanku kini sudah termasuk kategori MENGOMEL bukan MENGGERUTU.
     Ku ambil handukku dan segera mandi ekstra kilat. Setelah itu, sholat subuh. Ku ambil tasku, bersiap menuruni tangga.
     “Uuh, kenapa ini tas berat banget, yah? Hari ini masih belum ada pelajaran, kaaan?!” omelanku kian memanjang.
     Layaknya kereta api Jakarta-Surabaya.
     Segera aku kembali ke dalam kamar, membongkar tasku.
     “Oh Tuhaan, jelas aja berat.. Orang nih tas isinya barang-barang di rumah Indra kemarin…” omelan lagi, omelan lagi..
     Setelah sekian lama.. aku menunggu.. *eeeeh kok jadi dangdutaan?!* Setelah sekian lama membongkar tasku, aku segera membawa tasku yang tidak ada isinya—kecuali diary—menuruni tangga, bersiap menuju sekolah.
    Berkali-kali ku pandangi bed baruku. VIII B. Aaaah betapa indahnya. Banyak orang bilang, “Kelas delapan adalah masa-masa indah di jenjang SMP.”
    Aku hanya ingin merasakan seperti apa yang dirasakan orang-orang itu.
    “Bundaa, Nesya berangkaaatt… Assalamu’alaikum…” salamku, berpamitan. Mencium punggung tangan Bunda.
    “Wah,, Nesya sudah kelas 8 nih… Masa paling indah nih di SMP,,,” tuh… Bunda juga bilang gitu.. “Waktu-waktunya kasmaran nih. Kelas delapan gitu loh…” goda Bunda.
    “Ih Bundaa, apaan sih?” entah mengapa, pipiku bersemu merah.
    Padahal aku belum pernah merasakan apa yang tadi dikatakan Bunda. Kasmaran. Jatuh cinta. Cinta monyet. Ah, entahlah, apa itu namanya.
    “Assalamu’alaikum… Cha.. Echaa..” seruan Bima terdengar hingga Ruang Keluarga.
    “Bun, Bima udah dateng tuh. Nesya berangkat dulu. Assalamu’alaikum..” salamku sekali lagi.
    “Hati-hati, kasmaran sama Bima loh Nes.” Bunda terus menggoda.
    “Ih, Bunda, ada-ada aja. Mana mungkin Nesya suka sama sahabat Nesya sendiri.” Sahutku cuek.
    “Ih, sahabat bisa jadi cin—”
    “Udah ah Bun, Nesya berangkat!” telingaku panas mendengar godaan Bunda.
    “Kenapa, Cha? Kok ribut banget?” tanya Bima heran.
    “Tau tuh Bunda. Ngomongin kasmaran-kasmaran mulu. Katanya kelas delapan udah waktunya ngerasain cinta. Ah au’ ah, gelap. Orang tua jaman sekarang…” celotehku, menutup pagar rumah dan segera mengayunkan kaki bersama Bima.
    “Haha, iya sama kaya kak Nanda. Tadi waktu mau berangkat sekolah juga dia ngomongin itu terus. Tau’ deh,.”
    Kak Nanda ialah kakak Bima yang sudah menginjak jenjang kuliah. Seumuran dengan Bang Dio.
    Seperti biasa, kami berlima berkumpul di “Bundaran IH”. Haha, menyaingi Bundaran HI yang di Jakarta, Bundaran IH jauh jauh jauh lebih indah.
    Sebenarnya bukan Bundaran IH namanya, entah apa. Namun kami berlima menyebutnya seperti itu.
    Hanya Indra yang belum datang. Kami berempat pun memainkan air mancur di Bundaran IH, membuat seragam baru kami sedikit basah.
    “Cuyy, sorry baru dateng. Aku kesiangan.”
    Setelah Indra datang, kami berlima pun segera berjalan beriringan menuju SMP Kartika tercinta, seraya saling berangkulan. Tak tahu bahwa akan ada sesuatu yang tak indah di hari pertama kami menginjak bangku kelas delapan.      Namun, jam tangan bermerk yang berada di saku celana Yudha akan menjadi bukti yang kuat.
    Sesampainya di sekolah, kami berlima dipandang aneh oleh seluruh warga SMP Kartika, bahkan para adik-adik kelas 7 yang sedang menjalani hari pertama MOS mereka.
    “Kayanya bener-bener ada yang nggak beres nih…” gumamku khawatir.
    Kami berlima pun melenggang santai ke arah mading, melewati begitu banyak tatapan aneh. Masa bodoh mereka mau menatap kami seperti apa, yang pasti kami merasa tidak melakukan suatu kesalahan.
    Di mading, begitu banyak anak-anak yang berkerumun. Susah-payah, kami berlima menembus benteng mereka. Dan ketika sampai di depan mading, aku terhenyak. Begitu pula dengan keempat sahabatku.
              “Tomboy? Ngga Salah. MEROKOK? Itu Baru Salah..”
Itu judulnya. Dan yang lebih membuat kami berlima terhenyak, disitu terdapat gambar aku sedang tertidur dan menggenggam sekotak rokok. Aku mencoba menganalisis kira-kira kapan gambar ini diambil.
    “Kayanya ini waktu kamu di RS deh, Mot.” Sahut Bima.
    “Berarti ini benar-benar berhubungan dengan jam tangan ini.” Sahut Yudha, mengeluarkan jam tangan Donna dari sakunya.
    Ku baca sedikit artikel tersebut:
                 “Tomboy? Ngga salah. MEROKOK? Itu Baru Salah.”
   Gambar-gambar diatas sudah bisa membuat kita semua menduga-duga siapakah gerangan si cewek ini. Oke, untuk yang belum kenal, dia adalah NESYA ZAFIRA. Mantan warga 7B dan kini menjadi warga 8B, teman sekelas kami, para pembuat artikel ini.
    Petunjuk pertama: Si pembuat artikel adalah warga 8B, dan aku semakin yakin bahwa mereka adalah Dea cs.
   Selama ini, ia mempunyai sebuah genk yang bernama Anak Basket Gila, dan mereka berlima memang benar-benar gila.
   Ada Yudha Yudhistira, Mike Aditya, Muhammad Indra Ismail, BIMA ADRIAN, dan tentunya Si Perokok ini. Well, siapa sih yang nggak kenal seorang BIMA ADRIAN? Dia cowok terpopuler di SMP Kartika, dan kami sebagai KETUA Fans Clubnya merasa sangat malu.
    Sudah tidak ada lagi yang bisa dielak. Mereka benar-benar Dea cs. Terbukti dari kalimat yang ditulisnya. “DAN KAMI SEBAGAI KETUA FANS CLUBNYA”.
Namun, aku masih ingin membaca artikelnya lebih lanjut..
   Lihatlah foto-foto diatas, Si Perokok itu (Maaf, kami MUAK menyebut namanya) sampai terlelap. Mungkin karena ia terlalu banyak merokok, hingga menyebabkan paru-parunya sakit dan terlelap. Oh, sungguh memalukan.
    Aku benar-benar marah membacanya.
    Kami berlima pun keluar dari kerumunan manusia yang penasaran dengan isi mading, namun gossip tidak senonoh tersebut telah ku robek.
    “Bagaimana kabarmu, SI PEROKOK?” Muncullah Dea cs dan mereka menyapaku.
    “RAMBUT PELANGI JAUH LEBIH BAIK DARIPADA PEROKOK.” Tita angkat suara.
    Mereka berempat mengibaskan rambut pelanginya di depan mukaku. Sebal sekali rasanya.
    Kerumunan manusia sudah melingkari kami bersembilan—Dea cs & ABG—yang sedang dibakar hawa amarah. Tentunya aku dan Dea.
    Bahkan ada Pak Kusno, kepala sekolah SMP Kartika. Beliau melihat kami dari kejauhan, namun masih membiarkan kami. Mungkin karena kami belum melakukan tindak kekerasan. Belum melakukan adu fisik.
    “INI SEMUA CUMA FITNAH MEREKA! AKU BUKAN PEROKOK!” seruku keras, berusaha menjelaskan kepada semua orang bahwa aku benar-benar BUKAN perokok.   
    Organ suaraku, maaf aku harus berteriak. Jangan sakit dulu..
    “FITNAH DARIMANA, NESYA ZAFIRA?! JELAS-JELAS KITA PUNYA BUKTI! APA MASIH KURANG BUKTI DARI KITA?!”
    “TAPI SEJAK AWAL LIBURAN KEMARIN AKU SAKIT DB! BAHKAN AKU RAWAT-INAP DI RUMAH SAKIT KASIH IBU! SIAPA DIANTARA KALIAN YANG SEMPAT MENJENGUK AKU?!”
    Akhirnya ada beberapa tangan yang mengangkat.
    Bima, Mike, Yudha, Indra, Gea, Rosi, Indah, Nada, Sari, Bagas, Bagus, Vera, Revan, bahkan Pak Kusno dan beberapa guru.
    “KALIAN LIHAT SENDIRI, KAN? BAHKAN PAK KUSNO PUN IKUT MENGACUNGKAN TANGANNYA! PERLU BUKTI APA LAGI BAHWA AKU KEMARIN SAKIT? AKU DI RUMAH SAKIT SELAMA 3 MINGGU! SISANYA KITA BERLIMA MENGINAP DI RUMAH INDRA. PUAS KALIAN SEMUA? PUAS?!” dadaku sudah mulai naik-turun.
    Ternyata organ suaraku benar-benar tersentak, amarahku sudah di ubun-ubun. Andaikan aku petasan, mungkin aku sudah meledak.
    “SIAPA YANG TAHU KALO KAMU NGEROKOK DI RUMAH INDRA?!”
    Ku lihat di lembaran artikel. Ada penjelasan sedikit. Dibuat tanggal: 10 Juni 2011.
    Tanggal itu.. 2 harinya aku opname. Dan hari itu.. ketika ditemukannya jam tangan Donna di Rumah Sakit.
    Aku sudah tidak mau lagi berteriak-teriak. Kulihat foto-foto itu. Benar saja, tangan kananku memang menggenggam sekotak rokok, namun tangan kiriku ditancapkan sebuah infuse.
    Sangat terlihat jelas. Kini semuanya sudah jelas. Tidak perlu lagi berteriak-teriak.
    “Saya bisa memberi bukti bahwa saya bukan perokok. Disini tertulis bahwa artikel ini dibuat pada tanggal 10 Juni 2011. Saat itu adalah hari kedua saya berada di Rumah Sakit,” ku telan ludahku sejenak.
    “Saat itu, keempat sahabat saya sedang keluar sebentar untuk mencari makan. Lalu, saya tertidur. Mungkin karena efek samping obat yang saya minum,” berhenti sejenak.
    “Siapa tahu, saat saya tertidur itulah, mereka berempat menyusup ke kamar saya dan meletakkan sekotak rokok itu di tangan kanan saya. Satu hal yang pasti, disini terlihat jelas bahwa kotak rokok itu BELUM DIBUKA. Bahkan masih lengkap dengan segelnya,”
    “Jadi, tidak mungkin saya tertidur itu karena kebanyakan merokok seperti apa yang mereka katakan. Karena, bahkan kotak rokok itu BELUM DIBUKA,” berusaha ku kontrol emosiku.
    “Lalu, terlihat jelas bahwa di tangan kiri saya tertancap sebuah infuse. Berarti, saat itu saya sedang dirawat di Rumah Sakit. Saya lanjutkan penjelasan saya,”
    “Saat keempat sahabat saya kembali, mereka menemukan sebuah jam tangan. Didalam jam tangan tersebut, tertuliskan DONNA HARDIANY, SMP KARTIKA SURABAYA. Dan tidak ada lagi yang bernama DONNA HARDIANY selain DIA.,” Ku tunjuk Donna, yang pucat pasi.
    “Jadi, kini semuanya sudah jelas. SAYA BUKAN PEROKOK.” Ku akhiri penjelasan panjangku.
    “Masuk akal. Tapi, kita semua perlu bukti. Mana jam tangan milik Donna?” senyum licik Dea tersungging.
    “Kalian kira kita BODOH?! KALIAN YANG BODOH.! Nih, ambil tuh jam tangan!” Yudha mengeluarkan jam tangan dari sakunya dan melemparkannya ke arah Donna cs, yang tentunya sudah pucat pasi.
    “Penjelasan kamu sangat masuk akal. Dan bukti dari kamu sudah ada. Berarti kamu benar-benar bukan perokok,” Suara Pak Kusno memecah keheningan.
    Membuat kita berlima sedikit tersentak.
    “Bapak bangga sama kalian berlima. Kalian bisa berusaha untuk menggagalkan gossip yang tidak benar-benar ada.”
    Kami berlima pun segera mencium tangan Pak Kusno dengan penuh hormat. Berterima kasih atas kepercayaan beliau. Kami berlima pun berpelukan.
    Yang salah akan selalu salah. Dan yang benar akan selamanya benar.
    Kerumunan pun bubar. Dea cs pun disoraki oleh seluruh warga SMP Kartika. Apalagi melihat mereka berempat digiring Pak Kusno menuju ke ruangannya.
    Beberapa anak menyalami kami berlima, baik kenal maupun tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar