Sabtu, 29 Oktober 2011

Our Life: ABG's Life #Chapter Thirteen

_Ulang Tahun yang Terbengkalai_
   “Oh iya Dek, kamu kelas 7 apa?” tanya Mike.
     “7D, Kak.”
     “Wah… kamu kaya aku dulu, Dek. Bepil sama Tikus di 7A, Motcu sama Radum 7B, aku ditinggal sendirian di 7D.” ucapan Yudha barusan mungkin terdengar biasa, namun memberikan efek tidak biasa pada seluruh anak ABG.
     Nadya bersemu.
     Aku, Bima, Mike dan Indra tertawa keras.
     Mengingat betapa kami sangat jarang menghampiri Yudha di 7D. Hanya di 7A atau 7B. Tanpa pernah ke 7D. Haha, konyolnya tingkah kami.
***
     Rabu, 10 Juli 2012
   “Kakaaakk.. Assalamu’alaikum…”
      Aku, Yudha, Bima, Mike, serta Indra yang sedang sibuk mengerjakan tugas Bahasa Inggris agak kaget. Kami melongok sebentar ke arah pintu kelas 9D. Kami sudah kelas 9. Oh, Nadya.
      “Masuk aja, Dek!” seruku dari ujung kelas.
      Kami berlima mengerjakan tugas di balik bangku paling belakang.
      “Kak… Kalian semua dimana?” seru Nadya kebingungan.
      “Woyy kita disini, Dek!” Bima yang paling tinggi mengangkat tangannya.
      “Kak, ngantin yok!” ajaknya, memelukku dari belakang.
      “Bentar, Dek. Bentaaaarr.. aja. Nanggung nih, bentar lagi juga selesai.” Jawabku tanpa menoleh padanya.
      Begitu pula anak ABG yang lainnya. Setelah 15 menit menunggu, akhirnya keinginan Nadya pun terpenuhi.
      “Kakak-kakak mau pesen apa? Biar Nadya yang pesenin, sekalian Nadya yang bayarin.”       
      Entah benar atau tidak, sepertinya Nadya sedang berusaha mencari perhatian kami. Karena sedari tadi, kami sibuk membicarakan tugas kami.
      “Yah, ntar kamu yang cari model-modelnya…” ujarku pada Yudha, tanpa memperhatikan tawaran Nadya barusan.
      “Trus kamu yang bawa meterannya, ya.” Bima memerintahkan Mike.
      “Biar aku yang bawa kainnya.” Usul Indra.
      “Ntar aku yang gambar modelnya.” Usulku lagi, menanggapi usul Indra.
      Pembicaraan kami terus berlanjut. Setelah setahun kami bersahabat, aku merasa tugas di kelas 9 sangat menumpuk. Apa ini “Masa Paling Indah” seperti apa yang orang-orang bilang? Ah, entahlah.
      “KAK!” Nadya berseru keras, menggebrak keras meja kantin.
      Sontak kami berlima kaget. Pembicaraan tentang tugas Tata Busana barusan kami hentikan. Yudha yang paling emosional di antara kami berlima pun meledak,
      “KAMU INI MAUNYA APA SIH, DEK?! KAN TADI NGAJAK KE KANTIN, SUDAH KITA TURUTIN. TRUS APA LAGI?!”
      “Tapi, Kak… Aku ngajak kakak-kakak kesini itu mau ngerayain ulang—”
      “ULANG TAHUN?! INGET UMUR DONG DEK, KAMU SUDAH 13 TAHUN MASIH PENGEN DIRAYAIN ULTAHNYA? KITA ITU BANYAK TUGAS, DEK. KAMU NGGAK BISA NGERTIIN KITA?!”
      “Ini bukan ulang tahun aku, Kak,” Nadya tergugu dalam isakannya. “Hari ini A Be Ge genap setahun…” tangisnya pun pecah.
      Ku usap punggungnya perlahan, mengusir isaknya.
      “Pagi ini aku udah siap-siap banget buat nyambut hari ini..” ia berujar, masih dalam tangisnya.
      “Ku kira.. hari ini.. bakal jadi hari yang indah.. Hari yang nggak bakal.. aku lupain..” ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menghapus tangisnya yang tak kunjung reda.
      “Tapi apa yang terjadi?! Kakak-kakak semua sibuk sama urusan Kakak! Aku jadi berfikir dua kali,.. Pertama, apa emang aku nggak pantes ada di A Be Ge?! Kedua, apa ulang tahun kita segitu remehnya?! Aku tahu, mungkin kelas delapan tugasnya banyak.. Tapi apa segitu lebih pentingnya daripada persahabatan kita, Kak?!” emosinya memuncak.
      “Aku bukannya pengen ngerayain ultah kita, tapi aku cuma pengen hari ini bisa lebih dari kemarin-kemarin. Aku kira hari ini Kakak-kakak sama sekali nggak bahas tugas di depan aku! Tapi nyatanya?! Hari ini SAMA kaya kemarin, malah LEBIH BURUK!” dengan emosi dan parasnya yang dibanjiri air mata, ia berlalu meninggalkan kami berlima, yang kini terbengong-bengong.
      “Loe nih, Yudh.. Jangan samain Nadya sama gue!” saking emosinya, “gue-lo” ku keluar.
      “Dia nggak setipe sama gue! Dia lembut.. Kita udah setahun sahabatan masa loe masih nggak hafal sifat dia? Gue kecewa Yudh, sama loe! Loe ternyata nggak sebaik yang gue kira!” ku luapkan emosiku lalu ku kejar Nadya.
      Yudha termangu. Menyadari betapa bersalahnya dia.
      “Dek.. Kita nggak ada maksud kaya gitu sama kamu..” ku coba ku tahan emosiku.
      “Aku berfikir… hari ini.. aku akan seneeeng banget di sekolah… Bahkan tadi seluruh penghuni rumah udah aku ceritain…. Tapi apa..? Ini yang aku dapet, Kak!” ia masih tergugu.
      Ditutupnya paras ayunya dengan kain tipis jilbab yang dikenakannya.
      “Dek… kamu tenang dulu, ya.. Ayo, jangan nangis.. Ngga boleh nangis, dong….” Ku seka tangisnya dengan jemariku.
      “Kak, makasih ya..” dengan sisa isaknya, ia berucap.
      Ku kernyitkan dahiku. Mengapa ia berterimakasih?
      “Asal Kakak tahu, ini yang aku suka dari Kakak. Kakak tegar, nggak gampang nangis, menghadapi semua masalah dengan senyuman… Asal Kakak tahu, Kak Motcu satu-satunya orang yang menjadi sumber semangatku selain orang tuaku... Makasih atas semuanya ya, Kak. Nadya seneeng.. banget bisa kenal sama Kakak.”
      Aku terharu mendengar ucapannya. Ku seka mataku. Ada sesuatu yang mengambang di sana.
      “Dek, boleh Kakak peluk kamu?”
      Di pelukannya, aku merasa hangat, tenteram, damai. Dan jilbab bagian belakangnya pun basah oleh air mataku yang tanpa terasa telah membasahi pipiku. Justru aku yang harus berterimakasih padanya.
      Karenanya, kini aku mengerti apa arti hidup yang sesungguhnya….
      Kami pun berjalan beriringan, saling berangkulan. Menuju 7D, 8B….
***
      “Mot, gimana?” serbu Yudha ketika aku kembali ke kelas.
      Ku angkat bahuku.
      “Nggak gimana-gimana.”
      Cuek, kuhempaskan tubuhku di sebelah Yudha, teman sebangkuku.
      “Batik ngambek ya, Mot?” Bima yang sebangku dengan Mike dan tepat berada di depan bangkuku, bertanya. Menghadap ke belakang.
      “Menurutmu?” ku angkat bahuku lagi dan ku buka tasku, mencari tisu.
      Ku seka bekas tangisku.
      “Kamu nangis?” Indra pun ikut nimbrung.
      Bangkunya berada tepat di sebelah kananku.
      “Habis nangis, bareng Nadya.” Sahutku malas.
      “Kenapa nangis? Gara-gara aku?” tanya Yudha khawatir.
      Ku angkat sekali lagi bahuku.
      “Karena ‘kita’ berharap hari ini akan berjalan indah. Ternyata? Bad Day.” Jawabku sengit, memberi tanda kutip.
      Obrolan pun tidak dilanjutkan. Keempat cowok itu merasa bersalah dan.. yaah aku malas menjelaskan apa yang terjadi. Diam adalah emas.
***
      Kak Mot, Nad tunggu Kakak di depan 9D.
      Kenapa di luar? Masuk aja, De’.
      Ih Kakak mah nggak paham. Aku males ketemu sama Kakak2 yg lain..
      Iya De. Kakak masih beresin barang. Tunggu bentar, ya.
***
      “Yuk?”
       Sebel banget rasanya dengerin “yuk” barusan. Kaya ngerasa nggak salah aja.
       Yudha.
       Ngajak pulang bareng.
       Tentunya bareng anak ABG yang lain.
       “Nggak. Bareng Batik.”
       Singkat, ku tolak ajakannya. Lantas berlalu.
***
       “Loh, kemana Dek?” tanyaku heran.
       Pintu gerbang SMP Kartika berada di arah timur, mengapa Nadya mengajakku ke arah Selatan?
       “Ada deh.”
       “Uh, ngapain?”
       “Ketemuan.”
       “Hah? Ketemuan? Sama siapa, De?”
       “Orang yang kita sayang.”
       Senyum indah merekah di wajahnya. Membuat parasnya terlihat semakin manis.
       “Kakak tutup mata dulu, ya..” pintanya, menutup mataku dengan sehelai kain. Entah apa.
       “Eh, eh, ngapain De?” kaget, ku raba-raba kain yang menutup mataku.
      Langkahku semakin bertambah, rasa penasaranku pun semakin bertambah. Ku genggam erat tangan halus Nadya.
     “Bentar lagi nyampe, Kak. Disini ada tanjakan.” Tuntun Nadya.
      Entah mengapa, instingku mengatakan bahwa aku sedang berada di kantin.
      “Surprisee!” dibukanya penutup mataku.
      Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sejenak. Benar saja, ini kantin.
      Di hadapanku, telah berdiri Yudha, Bima, Mike yang dengan santainya tersenyum lebar dan membawa sebuah kue tart yang lumayan besar. Ada sebuah lilin kecil di tengahnya, sebuah angka satu.
      Di sekitarnya, terdapat tulisan “Happy Birthday ABG” yang benar-benar memikatku. Demi apapun, aku terpesona sekaligus terkejut.
      “Siapa yang merencanakan semuanya?” tembakku langsung, tepat sasaran.
      Sontak, tawa keempatnya berderai.
      “Eh, eh, kok malah ketawa?” sungutku.
      “Siapa sih, yang ngerencanain semuanya?” tanyaku.
      “KITA.” Jawab keempatnya kompak, ber-high five ria setelahnya.
      “Hm?” gumamku bingung.
      “Kak, sebenarnya dari kemarin kita sudah ngerencanain ini semua,” jelas Nadya sedikit.
      “Kita suruh Nadya yang pinter acting buat pura-pura marah sama kita.. Tadi kita juga serius ngomongin tugas tuh cuma karena rencana…” cengiran yang nggak indah tersungging di paras jelek seorang Yudha.
      Aku terhenyak. Seharian tadi aku dikerjain? Cuma acting? Ampun deh..
      “Kita pilih bikin surprise buat kamu, coz kamu dari kemarin sibuk ngurusin tugas…. mulu. Kita aja yang sekelas udah capek dengerinnya, apalagi Batik..” lanjut Bima, tersenyum indah.
      “Trus juga kelihatannya kamu nggak inget sama ultah ABG… Gara-gara tugas yang sebegitu banyaknya…” lengkap Mike.
      “So.. Kita cuma pengen kamu seneng..” tutup Indra, mengakhiri penjelasan panjang kelimanya.
      “Kesini deh, kalian semua…” pintaku.
      Yudha, Bima, Mike, Indra meletakkan kue tart besar itu di meja kantin, lantas beranjak ke arahku.
      Nadya sudah berada di sampingku.
      Sejenak ku tatap kelimanya.
      “Makasih atas semuanya, ya..” ujarku.
      “Aku sayang kalian semua.” Entah mengapa, kalimat indah itu terlontar dari bibir-bibir mungil kami berenam. Bersamaan.
      Sontak kami langsung berpelukan. Menyadari betapa kuatnya ikatan batin di antara kami.
      “Kalo gitu.. nanti malem kita ketemuan di Café Gracias. Tenang, aku yang bayar..” ujarku, melepas pelukan.
      Ku lihat Nadya menyeka sesuatu di pelupuk matanya.
      “Mot.. kamu yakin, mau traktir aku?” goda Bima, yang jelas-jelas SANGAT rakus.
      “Apa sih, yang nggak buat A Be Ge?” jawabku, mengerling ke arah kelimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar