Sabtu, 29 Oktober 2011

Our Life: ABG's Life #Chapter Ten

                 _Balas Dendam Dea Cs_
     “Gimana nih De, kita nggak bisa terus-terusan tertindas sama ‘Si Monyong’ itu.” Tita ambil suara, membuat tanda kutip dalam pembicaraannya.
        “Kamu jangan tanya terus deh, Ta. Mikir juga. Jangan aku doang yang mikir. Kalian bodoh semua! Nggak ada yang bener!” Dea justru membentak garang ke arah “anak buah”nya.
        “Kita harus balas dendam, De. Gimanapun caranya.” Nina pun memberi suara, mengambil snack yang berada di tengah-tengah karpet. Kali ini mereka berkumpul di rumah Dea.
        “Makan aja kamu! Mikir juga, dong! Aku tahu, kita emang HARUS balas dendam! Tapi gimana caranya?! Kalian semua nggak ada yang bisa mikir! Kalian BODOH atau NGGAK PUNYA OTAK, sih? Heran, deh.” Bentakan Dea kian garang.
        Selalu begitu. Selalu merasa menjadi yang paling sempurna, yang paling hebat. Padahal nyatanya tidak sesempurna itu.
        “Don, kamu diem aja sih? Ngomong dong!” bentak Dea lagi.
        “Ya ini aku lagi mikir, Dodol!” bentak Donna, membalas.
        Hanya Donna yang tidak terlalu tunduk pada Dea.
        “Sekarang aku tahu, apa yang harus kita lakukan.” Setelah sekian lama, Donna pun angkat suara, memecah keheningan yang terjadi.
        Senyum licik mengembang di parasnya yang sebenarnya cantik. Sayang hati dan perilakunya tak secantik wajahnya.
         “Apaan?”
         “Gimana kalo kita.. fitnah ‘Si Monyong’ itu?” Donna menawarkan idenya.                
         “Caranya?”
          Dengan rinci, Donna pun menjelaskan niat buruknya.
***
          “Nes… Bangun, Sayang.. Udah siang..” suara Bunda disertai ketukan halusnya terdengar di gendang telingaku.
          Namun aku tetap meringkuk di dalam balutan selimut tebalku. Bukan karena masih mengantuk ataupun malas bangun, tetapi karena hari ini aku merasa tidak enak badan. Ku sentuh dahiku. Panas.
          Setelah lelah mengetuk pintu, Bunda pun masuk ke kamarku.
          “Sayang.. Ayo bangun..” perintahnya, membuka selimut tebalku dan menyibakkan gorden jendela kamarku. Sinar hangat matahari pun masuk. Silau rasanya.
         “Ayo Nak…” Bunda mulai menyentuh pergelangan tanganku.
         “Sayang, kamu sakit Nak?” tanya Bunda kemudian.
         Aku berusaha menggeleng. Namun kepalaku terasa berat sekali. Tuhan, mengapa jadi seperti inii?
         “Enggak, Bunda. Nesya nggak papa.” Jawabku lirih.
         Wakss, kenapa suaraku selirih ini?
         “Nggak, Sayang. Badan kamu panas,” Bunda berlalu untuk mengambil termometer. “Suhu badanmu 39,75 Sayang. Hari ini ijin aja ya? Nggak usah sekolah. Kita ke Rumah Sakit.” Ujar Bunda cepat.
       “Nggak, Bunda. Nesya nggak papa. Nesya harus sekolah.” Tegasku, meyakinkan bahwa aku tidak sakit.
      Aku hanya tidak ingin melihat Bunda khawatir dengan kesehatanku yang sedang tidak stabil.
     “Sebentar Sayang, Bunda ganti baju dulu. Setelah itu kita ke Rumah Sakit.” Bunda segera berlalu, bersikap seolah tidak mendengar apapun dari bibirku.
    Aku pun menghela nafas. Menghembuskannya pelan. Berat. Aku hanya tidak ingin membuat Bunda khawatir. Aku benar-benar lebih memilih menyimpan sakitku sendiri daripada melihat Bunda sedih. Satu hal yang paling tidak aku inginkan.
   Dengan bantuan Bunda, aku mengganti baby doll-ku dengan kaos pendek sebahu dan celana jeans panjang.
   “Ayo Sayang, Bunda bantu.” Dengan sikap lembutnya, beliau menawarkan dirinya untuk membantuku menuruni tangga.
  “Nggak usah Bun, Nesya bisa sendiri. Nesya kuat, kok.” Ungkapku, menolak bantuan Bunda. Benar-benar merepotkan.
   Aku pun menuruni tangga pelan-pelan, membuat Bunda yang berada tepat di belakangku merasa khawatir.
   “Nesya bisa, Nak?” berkali-kali Bunda menanyakan hal tersebut dan terus-menerus memegangiku dari belakang.
  “Bisa Bun, Nesya bisa.” Jawabku, lirih.
       Bunda memerintahkanku untuk masuk ke dalam mobil. Di perjalanan, Handphone-ku berdering. Tanda ada telepon. Aku membuka mataku yang sudah terpejam. Berat sekali rasanya.
Bunda terus menerus mencuri pandang ke arahku.
“Telepon dari siapa, Nak? Sini biar Bunda aja yang angkat. Kamu tidur aja.” Namun, suara Bunda hanya terdengar seperti angin lalu.
     Bima. Ternyata Bima yang meneleponku.
     “Halo?” sapaku, lirih.
     “Halo, Cha? Suaramu kok lemes gitu? Baru bangun?” tanya Bima khawatir.
     “Enggak. Ada apa, Bim?” susah payah ku coba merubah suaraku.
     “Kita berempat mau jemput kamu, nih. Kamu belum berangkat, kan?” tanya Bima lagi.
    “Hari ini aku nggak sekolah, Bim. Sorry yah.”
    “Kamu kemana, Cha?”
    “Nggak enak badan, Bim. Nih lagi dianterin Bundaku, mo ke Rumah Sakit. Ntar ijinin ke Bu Diyah (wali kelas 7B) ya.”
    “KAMU SAKIT, CHA?” sontak, ku jauhkan gendang telingaku.
    Terdengar suara keempat sahabatku. Sepertinya Bima me-loudspeaker-kan handphonenya.
    “Woyy bisa pelan nggak sih? Kalian semua pengen aku budek?” tanyaku, berusaha garang namun terdengar lirih, lemas.
   “Yaelah Cha,, kok sakit sih? Semoga cepet sembuh, ya.” Suara fals mereka berempat pun kembali terdengar.
    “Yah, makasih ya. Aku sayang kalian.” Setelah itu, aku pun menutup teleponku, kembali memejamkan mataku.
    Kali ini terasa sedikit lebih ringan. Beruntung sekali aku memiliki sahabat seperti mereka.
    “Echaaaaaaaaa..” setelah sekian lama aku hanya termangu di ranjang Rumah Sakit bersama Bunda, terdengar suara-suara yang sangat mengganggu telinga. Sontak aku bergidik. Menutup telingaku. Meskipun suara-suara ini tidak lagi terdengar asing.
    “Kalian bolos sekolah?” tanyaku.
    “Enak aja bolos. Udah pulang, Mooott…” jawab Yudha gemas.
    “Oh, udah pulang ya?” tanyaku, melirik jam dinding di kamar Rumah Sakit ini. 13.30 WIB.
    “Oh iya, kamu sakit apa?” tanya Bima santai, mengambil sebutir apel di meja sebelah ranjangku.
    Ku coba bangkit dari tidurku dan duduk bersandarkan bantal. Ah, susah sekali.
    “DB.”
    “Nggak usah dipaksain duduk, Mot. Kamu masih lemes tuh.” Celetuk Mike, menggigit kecil apel yang dimakan Bima.
        “Ternyata kamu bisa sakit juga ya, Mot.” Celetukan asal dari Indra.
        “Kamu kira aku Wonder Woman?” balasku malas.
         “Oh iya Mot, hari ini hari terakhir kita kelas 7. Mulai besok kita libur sebulan.” Suara Yudha memecah keheningan yang sempat terjadi.
         Bunda pamit pergi, meninggalkan kami berlima disini. Menyerahkanku kepada keempat sahabat-sahabat tercintaku.
         “Iya kah? Seru dong, besok-besok kita bisa ngerjain adek kelas waktu MOS,” Celetukku jahil. “Tapi nggak deh, aku kan anak baik.” Kalimat terakhirku disoraki oleh keempat sahabatku.
         “Semoga kelas 8 nanti kita semua sekelas, ya.” Ucapan Bima barusan disambut oleh “Amin” yang panjang. Lagi-lagi hujan turun dengan deras, seperti ikut mengamini do’a kami.
         “Cha, you know what? Tadi kamu dicariin sama Dea cs. Mereka kayanya mo tobat, deh. Mo sujud-sujud buat minta ampunanmu.” Celetuk Mike.
          “Mike lebayyy... Emang kamu kira aku Tuhan? Tapi beneran nih, mereka nyariin aku?” tanyaku meyakinkan, masih tidak percaya.
           “Iya.. Atau mungkin.. mereka nanti kesini, ya? Jenguk kamu?” Yudha menganalisis.
          “Au’ ah gelap.” Masa bodo. Mereka mo kesini, mo enggak. Bodo amat.
          Tiba-tiba Handphoneku—yang berada di meja sebelah ranjangku—berdering. Dengan sigap, Indra mengambilkannya untukku. Ternyata Bunda yang menelepon. Ku-loudspeaker-kan Handphoneku.
         “Sayang, Bunda mau bicara sama teman-teman kamu..” Setelah mengucap salam, Bunda berujar.
         “Iya Tante, ada apa?” tanya Bima, mewakili keempat sahabatku yang lain.
         “Bima, Mike, Indra, Yudha,. Tante titip Nesya-nya, ya.. Tante ingin beristirahat saja di rumah.. Tante sudah mengizinkan kepada orang tua kalian… Kalian tidak keberatan kan, Sayang?” pinta Bunda lembut.
         Wajah keempatnya berbinar. Membuatku terkikik melihatnya.
        “Siap delapan-enam, Tante! Nesya aman sama kita!” suara fals mereka pun terdengar.
       Akhirnya hari ini—hingga sembuh nanti—mereka berempat yang akan menemaniku pagi, siang, malam. Sungguh tidak rugi rasanya mempunyai sahabat sebaik mereka. 
       “Cha, kita berempat mo cari makan nih, bentar aja kok. Boleh ya? Ngga papa kan, kamu disini sendiri?” mohon Yudha.
       Ku anggukkan kepalaku perlahan, lemah.
       Setelah mereka berempat pergi, aku pun tertidur lelap. Mungkin terkena efek samping obat yang ku telan.
       Tanpa ku tahu, Dea cs datang untuk menjengukku. Namun ternyata, tujuan utama mereka karena ingin melakukan balas dendam kepadaku. Keempatnya memasuki ruanganku perlahan, memastikan bahwa tidak ada orang lain selain aku yang tengah tertidur lelap.
        “Maaf ya, Echa Sayang, seandainya kamu nggak taruh foto kita berempat di mading waktu itu.. Mungkin kita nggak akan ngelakuin ini ke kamu..” ujar Dea licik.
        Mereka berempat ternyata membawa sekotak batang rokok. Dan meletakkannya di tangan kananku yang bebas infuse. Sehingga terlihat seperti aku sedang menggenggamnya. Setelah itu, mereka MEMOTRETKU dengan pose seperti itu.
        Keempatnya pergi, tanpa aku tahu bahwa mereka telah datang untuk menjengukku. Sekotak rokok tadi dibawanya kembali pulang..
***
                  “Tomboy? Ngga Salah.. NGEROKOK? Itu Baru Salah..”
Judul itu yang akhirnya mereka tulis didalam sebuah “artikel”. Dengan beberapa hasil jepretan mereka, mereka pun menyatukan artikel dan koleksi foto-fotonya. “Nesya Zafira, bersiap-siaplah. Nama baikmu akan memburuk, bahkan di hadapan adik-adik kelas 1 yang baru saja mengikuti MOS. Tak ada lagi tempat yang cocok untuk mukamu, kecuali TEMPAT SAMPAH.” Keempatnya tertawa penuh rasa kemenangan….
    Namun mereka tidak menyadari, bahwa ada satu hal yang bisa mematahkan gossip yang mereka buat. Terjatuhnya jam tangan Donna. Tidak mungkin salah lagi, karena di dalam jam yang dipesannya khusus di pembuat jam terkenal itu bertuliskan: DONNA HARDIANY, SMP KARTIKA SURABAYA.
***
      “Echaaaaa..” suara-suara fals itu terdengar lagi.
      Aku yang baru saja terbangun dari tidurku hanya menggumam tak jelas. Sesekali aku masih menguap, sisa-sisa kantukku masih ada.
      “Kalian dari mana aja, Cuy? Lama banget. Aku sampe ketiduran tauu..” godaku.
      “Yeee.. orang kita pergi cuma 15 menit dibilang lama. Dasar kamunya aja Tukang Tidur, Nona..” balas Yudha, membantuku untuk duduk bersandarkan bantal. Tawa pun berderai.
      “Eh, eh, apaan nih?” tiba-tiba suara Bima memecah keheningan yang sempat terjadi di antara kami berlima.
      Ia memungut sesuatu di lantai dekat ranjangku. Sebuah jam tangan bermerk. Dan tentunya mahal, karena di-desain di perusahaan khusus.
      Ku ambil jam tangan itu dari tangan Bima. Ada nama pemilik di dalam jam tersebut. DONNA HARDIANY, SMP KARTIKA SURABAYA.
      “Nggak salah lagi, ini pasti punya DONNA.” Ujarku.
      “Dea cs tadi kesini, Mot?” tanya Mike.
      “Setahuku enggak deh. Dari tadi aku tidur tau.. Lagian kalo mereka kesini, ngapain juga nggak bangunin aku.?” Tanyaku, menganalisis.
      “Iya juga, sih. Mereka pasti bangunin kamu kalo kesini. Kecuali kalo mereka punya rencana jahat.” Tiba-tiba Indra menggumam dan membuat kami berempat terhenyak.
      “Apa iya? Apa mereka mempunyai niat buruk ke aku? Apa mereka mau balas dendam ke aku?” aku terus ribut bertanya-tanya.
      “Udah Mot, kamu tenang aja dulu. Jangan su’udzon dulu. Jam ini biar kita simpen. Ntar kalo ada sesuatu yang ngga beres, jam ini bisa jadi penyangkalnya. Bisa jadi bukti kalo emang mereka pernah kesini.” Ujar Yudha bijak.
      Kami berempat hanya mengiyakan, tanpa bisa menganalisis lebih jauh lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar