_Kehilangan,, Pesan Terakhir…_
“Assalamu’alaikum… Naaad, Ndraaaa, woooy!” pekikku setelah melepas tali sepatuku.
“Batik sama Radum mana, Mot?” tanya Mike, melihat seisi villa kosong.
Ku angkat bahuku.
“Tapi pintunya kok nggak kekunci? Berarti mereka udah dateng dong, Cha.” Analisisnya kemudian.
“Emang akunya yang nggak ngunci pintu.” Jawabku polos, tanpa merasa bersalah.
“Ceroboh banget sih?!” seru Mike keras. Loh kok malah marah? “Kalo ada orang yang masuk ke sini dan ambil barang kita—well, mencuri—gimana?” lanjutnya.
“Kan udah terlanjur terjadi. Mau gimana lagi? Buktinya juga nggak ada yang hilang.” Jawabku, lagi-lagi merasa tidak bersalah.
Before the story begins..
Is it such a sin…
For me to take what’s mine..
Until the end of time..
We were more than friends..
Before the story ends….
And I will take what’s mine..
Create what God would never design..
Terdengar ringtone Handphone-ku berdering. “Little Piece Of Heaven”-nya Avenged Seven Fold.
“Telpon tuh, Cha.” Sahut Mike.
Ku tatap layar handphoneku yang berkedip-kedip. Sebuah nomor tak dikenal.
“Siapa, Mot?” tanya Mike kemudian.
Ku angkat bahuku, lantas ku terima telpon itu.
“Halo, selamat siang..” sebuah suara berat membuka percakapan kami.
“Selamat siang..” jawabku, agak ragu-ragu.
“Apa saya sedang berbicara dengan Mbak Echa?”
Loh, loh, siapa Bapak ini? Kok bisa tahu nama akrabku?
“Iya, saya sendiri… Maaf, Bapak siapa, ya?” tanyaku kemudian.
“Iya, saya sendiri… Maaf, Bapak siapa, ya?” tanyaku kemudian.
“Saya dari anggota kepolisian,” DEG! Ada apa ini? Ku bisikkan kalimat itu pada Mike..
“Ada apa ya, Pak?” tanyaku gugup, takut.
“Begini, apa benar Mbak ini Kakaknya Mbak Nadya?”
Loh, sebenernya Bapak ini siapa sih?
“Iya, benar.. Mohon maaf Pak, Bapak ini siapa, ya?” tanyaku.
Apa hubungannya ya, Bapak ini dengan Nadya? Semoga bukan sesuatu yang buruk..
“Saya dari pihak kepolisian…. Adik anda, bersama seorang lelaki, kecelakaan di dekat Parangtritis… Sekarang sudah dilarikan ke UGD di RSI Bakti Harapan… Mohon Anda segera ke lokasi..” jelasnya sopan.
“Selamat siang..” lantas diakhirinya percakapan kami.
“Selamat siang..” jawabku lirih, lantas lunglai.
“Kenapa, Cha?” tanya Mike, khawatir.
“Batik sama Radum…. Kecelakaan.” Jawabku lirih.
“DIMANA?” Serunya kemudian.
“Di RSI Bakti Harapan…” jawabku lemas.
“Oke, kita kesana!” serunya yakin.
***
Berbekal dengan pengetahuan Mike tentang lokasi-lokasi di Jogja, rasa cemas, serta motor pinjaman dari penghuni di rumah sebelah villa yang kami tempati, aku dan Mike pun telah berdiri di depan gerbang Rumah Sakit.
Tentunya, Mike sudah mengganti pakaiannya dengan pakaianku. (Ingat, pakaianku sangat bisa dipakai untuk lelaki)
“Mbak, UGD dimana ya?” tanya Mike kepada salah seorang suster yang kebetulan lewat.
“Lurus aja, Mas. Nanti belok kiri, lalu belok kanan.” Jawabnya, menunjuk jalan.
“Makasih ya, Mbak.” Jawabku cepat, lantas berlari—bersama Mike—menuju UGD.
Sebelum kami membuka pintu..
“Mbak, Mas, maaf, kalian siapa?” tanya seorang dokter.
“Kami.. sahabatnya pasien…” jawab Mike.
“Sahabatnya Mbak Nadya sama Mas Indra?” tanya Pak Dokter kemudian.
Lantas kami mengangguk-anggukkan kepala.
“Mas Indra sama Mbak Nadya masih kritis.. Belum boleh dijenguk… Begini saja, kalian boleh melihat mereka, tetapi lewat jendela saja ya..” saran Pak Dokter.
Sejujurnya kami kecewa.. Namun, apa daya?
“Cha, aku telpon Piton sm Tikus dulu, ya.” Ujar Mike kemudian.
Aku mengangguk pelan.
***
“Cha, Batik sama Radum kenapa?” tanya Yudha panik.
“Kecelakaan.” Jawabku malas.
“Gimana ceritanya?” tanya Bima, panik juga.
Hellooowww, siapa sih yang ga panik waktu tahu dua sahabatnya kecelakaan di kota orang? Tentunya hanya orang-orang yang ga berperikemanusiaan (Halah, susah banget nulisnya? Hahaha…) yang tidak khawatir mendengar sahabatnya kecelakaan.
“Mbak, Mas, Mas Indra sama Mbak Nadya kritis! Kalian semua boleh masuk!” seru Pak Dokter gugup.
Tingkat kecemasan kami sudah berada di penghujung.
Ku genggam erat-erat tangan Mike dan Bima yang berada di sebelahku.
“Aku takut..” ujarku lirih, mengeratkan genggamanku.
Suaraku bergetar… Akankah aku menangis?
“Ssst, Cha.. Jangan nangis.. Eh, katanya harus tegar.. Echa biasanya nggak kaya gini, kok… Ayo, ga boleh nangis..” Bima menenangkanku.
Kami berempat segera masuk dan melihat Nadya serta Indra terbujur lemah di ranjang rumah sakit. Belum pernah aku sepilu ini. Belum pernah aku melihat seseorang yang aku sayang, terbujur lemah seperti ini.
Bahkan ketika dahulu Ayah akan pergi, aku tidak sempat melihat wajahnya untuk yang terakhir kali. Waktu sangat membatasi kami.
Ingin ku menghambur ke arah mereka, memeluk mereka satu-persatu.
Namun apa daya? Di sekitarnya terdapat berbagai macam selang-selang yang membelit mereka. Berbagai peralatan medis berceceran.
Allaaaaah, kalau boleh aku pinta..
Beri mereka satu kesempatan lagi..
Beri aku satu kesempatan lagi..
Atau..
Berikan seluruh rasa sakit mereka padaku, Allah..
Mereka berdua malaikatku….
Allah, aku mohon..
Sekali ini.. saja.
Aku mohon..
“Yuk, Cha.” Ajak Bima, menggandengku.
“Kok bengong sih, Cha?” Yudha bertanya.
Ku gelengkan kepalaku pelan.
Ku ayunkan kakiku, melangkah menuju ranjang keduanya yang berdekatan.
Ku genggam tangan keduanya….
“Kepala Mas Indra sempat terbentur trotoar… Dan terdapat sel kanker aktif di dalamnya…” ujar Pak Dokter pelan.
Kami mengangguk mafhum.
Kami tahu akan hal itu,.
Kami tahu akan sel kanker aktif itu..
“Sepertinya ia tak akan bertahan la—”
“DOKTER, JANGAN KATAKAN ITU!” Bentakku.
Entah aku kurang ajar atau apa, tapi aku benar-benar ga terima. Dokter memang seseorang yang ahli dalam bidang medis, tapi Dokter bukan Tuhan. Ia bisa mengetahui penyakit dan obatnya, tapi ia tidak bisa memberi vonis tentang kehidupan dan kematian seseorang.
Ku lihat ketiga sahabatku—serta Pak Dokter itu—tercengang. Masa bodoh, aku hanya tidak ingin dokter itu sembarangan memberi vonis tentang kehidupan seseorang. Apalagi sahabatku sendiri.
Ku eratkan genggamanku. Ku lihat, mata Nadya sedikit terbuka.
Ku usap bulir air mataku. Jangan terlihat sedih di hadapannya.
“Kak…” sapanya getir.
“Iya, Dek? Kakak disini…” ku pererat genggamanku, berusaha ku keluarkan senyumku.
Meskipun senyum itu berarti kegetiran.
“Kakak tahu? Aku.. ngelihat… sebuah padang rumput.. Baguuuss.. banget.. Disana… ada.. sebuah kursi yang.. bagusss.. banget.. Dan.. Nadya ketemu seseorang.. yang cantiik banget.. kaya Kakak.. Orang itu bilang.. kursi itu.. punya Nad… Tapi,, Nad harus.. ijin dulu.. sama kakak-kakak semua… Nadya.. mau duduk.. disana…” ujarnya patah-patah, dan membuat kami berempat membanjiri pipi dengan air mata.
“Nadya.. Ga pengen disini dulu? Ga pengen sama kakak-kakak dulu? Nadya beneran pengen kesana?” tanyaku, lantas mengusap air mataku.
“Kakak kok nangis? Disana.. tempat yang bagus, Kak… Tapi maaf.. Nad ga bisa ajak kakak.. Nad pamit ya, Kak… Suatu saat nanti.. kita semua pasti bisa ketemu disana…” jawabnya, semakin lirih.
Ku anggukkan kepalaku. Mengiyakan.
“Kak… Kakak harus tetap tegar, ya. Harus tetep menjadi Nesya Zafira yang Nad idolain… Harus tetep tegar, ceria, menghadapi semuanya dengan senyuman,.. Ada atau nggaknya Nadya, nggak berarti apa-apa.. Kakak harus tetep jadi Nesya Zafira yang dulu. Nadya akan selalu mengidolakan kakak.”
Aku semakin tak tahan mendengarnya. Sepertinya ini pesan terakhir.
Sekali lagi ku anggukkan kepalaku.
“Nadya sayang sama kakak..”
Ku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
“Kakak juga sayang sama Nadya..” jawabku lirih.
Tidak percaya bahwa ini percakapan terakhir kami.
“Nad.. Ikuti Kakak ya..” pinta Yudha, mengambil alih pembicaraan.
“Asyhadu alla, ilaa ha illallah…” ujar Yudha.
“Asyhadu alla, ilaa.. ha illallah…” Nadya mengikuti ucapan Yudha.
Air mata kami berempat tak henti-hentinya merembes.
“Wa asyhadu anna, muhammadan rosulullah….” Ujar Bima, melihat Yudha tak kuasa melanjutkan kalimat syahadatnya.
“Wa asyhadu anna, muhammadan.. rosulullah….” Nadya kembali mengikuti.
“Nadya, jangan pergi dulu Deeeek!” jeritku.
Namun apa daya? Mungkin sudah waktunya…
Setelah mengucap kalimat terakhirnya berupa syahadat, ia menghembuskan nafas terakhirnya dan memejamkan matanya. Tersungging sebuah senyum tipis namun manis di bibir mungilnya. Seperti menandakan bahwa ia anak yang baik.
Ku kecup dahinya, ku usap wajahnya, lantas ku tutup wajahnya dengan selimut yang digunakannya.
“Ngh…” terdengar sebuah erangan dari sebelah kanan kami.
Indra.
Sontak kami berempat menghampirinya.
Ku genggam tangan kanannya.
Yudha menggenggam tangan kirinya.
Mike duduk di sampingnya dan mengelus rambutnya.
Bima memijat pelan kakinya.
“Cha.. Yudh.. Mike.. Bim… Barusan, aku berada di suatu tempat yang bagus.. banget. Disana ada Nadya.. Dia ngajak aku kesana… Dia minta aku buat nemenin dia.. Tempatnya indah banget.. Aku mau kesana.. Aku mau temenin Nadya..” jelas Indra.
Entah ini tetes air yang keberapa. Sekali lagi meluncur dari pelupuk mataku, tanpa bisa ku bendung. Begitu pula ketiga sahabatku.
“Cha.. Jangan rapuh lagi, ya.. Usap air matamu dan lihat dunia. Genggam dunia dengan kesepuluh jemarimu. Dengan senyumanmu. Tanpa tangisan. Aku percaya kamu bisa merangkai kembali semua hal yang nyaris hilang. Aku akan selalu menyayangimu.”
Lagi-lagi, pesan terakhir. Oh God, kenapa aku lagi yang mendapatkannya? Kenapa hanya aku yang mendapatkannya?
Ku anggukkan kepalaku, ku luncurkan tangisku.
“Aku juga akan selalu menyayangimu.” Jawabku lirih.
Lagi-lagi pengucapan syahadat. Oh Tuhan, aku nggak kuat dengerinnya….
Anehnya, setelah pengucapan syahadat selesai, Indra masih bisa bertanya,
“Kalian ikhlas kan, kalo aku pergi?”
Lirih. Membuat kami menangis.
Akhirnya kami sepakat untuk mengangguk.
“Kita.. ikhlas.” Jawabku, menghembuskan napas dengan berat.
Setelah itu ia menutup matanya, menghembuskan napas terakhirnya, dan sama seperti Nadya. Tersenyum.
Suasana duka pun menyelimuti kami berempat.
Kami berkabung.
Larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing.
Lantas saling menangis.
Saling merangkul satu sama lain, sehingga membentuk sebuah lingkaran kecil.
Terdengarlah lantunan lagu dari sebuah tim nasyid bernama La Tahzan. Judulnya Jangan Bersedih. Kami berempat hafal banget lagu ini. Kami pun berdendang bersama, seiring isak tangis yang masih terdengar.
Di dalam dunia ini..
Pasti ada warna-warni..
Terkadang kita bahagia..
Terkadang pula merasa derita..
Semua yang kita jalani…
Takkan berhenti di sini..
Semua persoalan yang kita hadapi..
Akan menambah derajat diri..
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Karena Allah akan s’lalu menemani….
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Karena hidup ini..
Tak selalu pasti..
Sejenak kami menelan ludah sebelum menyanyikan bait selanjutnya….
Dunia ini tak untuk ditangisi….
Karena ia tak akan abadi…
Tersenyumlah….
Dan bukalah hati..
Sambut esok hari..
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Karena Allah akan slalu menemani….
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Karena hidup ini..
Tak selalu pasti..
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Karena Allah akan slalu menemani….
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Karena hidup ini..
Tak selalu pasti..
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Di dalam ujian ada kemudahan….
Berbahagialah, dan jangan kau bersedih…
Dengan ingat Allah, hati terobati….
Dengan ingat Allah, hati terobati….
Kami berempat lantas tersenyum.
Mengusap air mata.
Kali ini kami benar-benar ikhlas.
Mungkin ini jalan terbaik yang Tuhan pilih untuk mereka berdua.
Dan juga untuk kami..
Setelah itu, Mike dan Yudha pun segera menghubungi orang tua Indra dan Nadya.
Kami sepakat untuk menguburkan Nadya dan Indra di Surabaya saja.
Pihak Rumah Sakit bersedia mengantarkan kedua jenazah.
Kami segera mengemasi barang-barang dan kembali ke travel.
Menuju Surabaya.
Rencananya kami berlibur selama 14 hari.
Namun hanya 3 hari.
Yaaaah, tak apa lah.
Di dalam mobil, aku berdendang ria.
Membuat semua menoleh.
“Lagunya RAN, ya?” tanya Yudha.
Ku anggukkan kepalaku.
“Judulnya Lagu Untuk Riri, kan?” tanya Bima memastikan.
Sekali lagi aku mengangguk.
“Kita bertiga boleh ikut nyanyi?” tanya Mike.
Untuk ketiga kalinya aku mengangguk.
Lantas ku berhentikan senandungku.
Kami bertiga menyanyikannya dari awal, dengan penuh penghayatan. Penuh perasaan….
Mengenangmu….
Di hari itu..
Di saat ku masih bisa..
Melihat senyumanmu..
Menyapamu….
Di pagi itu..
Di saat kau masih bisa..
Bercanda, dan berbagi tawa..
Namun kini kau t’lah pergi..
Dan takkan kembali…
Semoga kau dapatkan tempat terbaik.. di sisi-Nya…
Bilakah kau bersedih…
Bila ku menangis…
Kan ku hapus tangisku..
Asalkan kau bahagia…
Dan bilakah kini kau tlah di sisi-Nya..
Ku harap disana…
Kau tetap selalu..
Tersenyum, ceria..
Namun kini kau t’lah pergi..
Dan takkan kembali..
Semoga kau dapat tempat terbaik.. di sisi-Nya…
Bilakah kau bersedih…
Bila ku menangis…
Kan ku hapus tangisku..
Asalkan kau bahagia…
Dan bilakah kini kau tlah di sisi-Nya…
Ku harap disana…
Kau tetap selalu..
Tersenyum, ceria..
Kami selesai berdendang.
Ku usap cairan di pelupuk mataku.
Begitu pula dengan ketiga sahabatku.
Lantas kami berdo’a untuk mereka berdua.
Semoga dapat diterima di sisi-Nya.
Amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar