_Pemberitahuan dari Akbar, Surprise IPS_
“Cha, tanggal 23 Juni 2010 nanti, tim basket kita mau tanding ngelawan tim basket SMP sebelah..” ujar Akbar, teman sebangku plus teman se-tim basketku.
“Hmm, lalu?” sahutku cuek.
“Aduh, Cha… Kamu kan , pemain inti plus kapten tim basket kita..” ujarnya berbisik, sekaligus melirik ke Bu Wanda, karena saat ini pelajaran IPS sedang berlangsung.
“Ssst, kecilkan volume suaramu. Bisa hancur gue, kalo ketahuan ama Bu Wanda, ngobrol di tengah pelajaran….” jawabku, sambil terus menulis catatan IPS-ku.
“Hufft, mulai deh “gue-lo”-nya… Oke deh… Trus, kapan kita mulai latihan?” tanyanya, seraya mengecilkan volume suaranya.
“Kenapa tanya gu—eh, aku?” jawabku cuek.
“Aduh, emang susah mau ngomong ama kamu. Cuek bangetz..” keluhnya.
“Hmm, emang kenapa l—kamu tanyanya ke aku?” aku tetap melontarkan pertanyaan yang sama.
“Astaghfirullah, kepeleset lidah teroooss.. oke deh, ak—gue ikutin gaya bicara lo.. Hahahahahhaha… Susah deh, punya temen orang Jakarta , ‘gue-loooooo’ aja bisanya.” Ledeknya.
“Udah deh, nggak usah ngeledek. Beneran nih, ngapain lo tanya ke aku?” tanyaku lagi dengan muka muak.
Udah bikin konsen orang ilang, ngeledek juga. Dasar..
“Echa.. Kamu kan , KAPTENNYA… Jadi, aku tanyanya sama kamu..” jawab Akbar kesal, geregetan.
“Akbar, Nesya, apa yang kalian bicarakan? Kapten apa maksudmu?” Tanya Bu Wanda, yang sepertinya mendengar suara Akbar yang keras.
“Eh, itu bu.. Ehm, kami membicarakan basket..” jawab Akbar gugup, namun jujur.
“Karena kalian sudah mengobrol di jam pelajaran saya, kalian harus bisa menjawab pertanyaan dari saya.” Ujar Bu Wanda.
“Oke Bu, siapa takut?” sahutku.
Waw, gak nyangka aku ngomong gitu.
“Sst, ngomong apa sih kamu?” bisik Akbar seraya menyenggolkan sikunya padaku.
“Waah, gue keceplosan, Bar! Tapi maaf ni ya, gue tadi dengerin SEMUA penjelasan dari Bu Wanda..” jawabku, seraya berbisik pula.
“Tapi aku gak dengerin…” bisiknya lagi.
“It’s your problem, I don’t care.” sahutku, seraya menjulurkan lidahku padanya.
“Aaaah !” pekiknya sebal.
“Bagaimana, Nesya? Apa kamu sudah benar-benar siap?” Tanya Bu Wanda, dengan pandangan meremehkanku.
Kulihat suasana kelas. Wah, ternyata aku–dan Akbar—sedang menjadi pusat perhatian.
“Ehm, ehm !” bukannya menjawab, yang kulakukan justru berdehem.
“Nesya? Bagaimana? Sudah siap? Ini kamu yang menantang saya ya, jadi jangan menyesal kalau kamu tidak bisa jawab pertanyaan dari saya.” Ujar Bu Wanda, penuuuh dengan sifat meremehkan.
“Saya S.I.A.P, Bu ! Bahkan sudah sangat siap.” Jawabku penuh kemantapan.
“Ehm, ini pertanyaannya. Tolong jelaskan semua yang kamu tau tentang bla bla bla…” Ujar Bu Wanda, seraya tersenyum licik, berfikir bahwa aku tidak akan bisa menjawab pertanyaan darinya.
“Ehm, Ehm!” ketika berdehem, kulihat suasana kelas.
Sepi. Dan hampir seisi kelas melihat kepadaku, dengan tatapan terkesiap. Wah…
“Cha, kamu mau jawab apa nih?” bisik Akbar seraya menyenggolku dengan sikunya.
“Udah, diem lo.” jawabku berbisik. “Ehm, Di Indonesia, bla bla bla………” jawabku panjang lebar.
Plok, Plok, Plok….
“Heehee, makasih semuanya…” ujarku pada teman-teman sekelas yang menyoraki jawabanku.
“Kesambet setan apa kamu tadi? Kok bisa-bisanya cerewet gitu? Kukira kamu bakal kena serangan jantung kalau ngomong banyak-banyak.” Ujar Akbar, ngaco.
“Sembarangan kamu. Kamu sih, belum pernah liat gue nyanyi. Buktinya, gue nyanyi berkali-kali gak kena serangan jantung kok.” sahutku.
“Tapi sumpah deh, kamu keren banget.” ujarnya lagi.
“Yang keren orangnya atau jawabannya nih? Pasti lo muji gue ada tujuan tertentu. Ada udang dibalik batu. Huh.” ujarku, mencibir.
“Hahai, iya juga siih. Tapi tumben-tumbenan kamu kaya gitu. Bener-bener keren..” pujinya.
“Stop, stop. Gak usah berlebihan gitu mujinya. Tapi bener deh, gue juga gak nyangka bisa kaya tadi. Gak tau kesambet setan apa nih, tadi. Hehe..” cengiran lebar yang melebihi cengiran kuda pun meluncur dari bibir mungil nan indahku (halah, apa sih?).
“Nesya, tolong kesini ‘NAK’.” panggil Bu Wanda padaku.
“WHAT? NAAAK? Waw, Cha, kesambet apa tuh, Bu Wanda?” seru Akbar, kaget.
Memang, terkadang teman-teman memanggilku Echa. Mereka bilang sih, supaya lebih akrab.
“Entahlah. Gue juga kaget sih.” jawabku.
“Ayo nak, maju kesini.” pinta Bu Wanda.
“Ehm, iya bu..” sahutku seraya beranjak dari tempat dudukku, menuju ke depan kelas.
Plok, plok, plok, plok…. Teman-teman sekelas bertepuk tangan heboh, ketika aku berjalan menuju ke depan kelas. Aku pun tersenyum kepada teman-teman.
Sesampainya di depan kelas..
“Kamu benar-benar berprestasi, Nak. Ibu bangga mempunyai murid sepertimu.” ujar Bu Wanda.
Tepuk tangan membahana lagi.
Teeet, Teet, Teet…. Ternyata bel istirahat telah berbunyi.
“Oh, ternyata bel sudah berbunyi. Kalau begitu, selamat siang dan sampai bertemu lagi pada pertemuan selanjutnya.” pamit Bu Wanda.
Setelah Bu Wanda meninggalkan kelas, terdengar teriakan salah satu temanku, yang sontak membuat hampir seluruh isi kelas urung meningalkan kelas.
“Wah, wah, Cin! Kayanya, kamu bakalan kalah deh, sama ‘Si Anak Baru Sok Pinter’ ini..” ternyata suara Lea, cewek sok-sempurna, kepada Cinta ‘Si Murid Terpintar’. Yaah, denger-denger dan setauku sih, dia terpinter di kelas.. Sontak teman-teman sekelas—dan tentunya aku juga—menoleh kaget ke arah Lea.
“Halah, cewek gituan… LOSER!” ujar Cinta meremehkan seraya membalikkan ibu jarinya padaku.
“Eh, apa-apaan sih? Udahlah, Cin, Le, kalian kaya anak kecil aja! Nggak usah gitu-gitu amat kali..” ujar Melanie si Ketua Kelas menenangkan.
“Udahlah Mel, nggak papa kali. Bener, nggak papa kok.” Jawabku seraya tersenyum tipis.
“Alah.. Cewek LOSER mana berani ngelawan?!” ejek Cinta lagi.
“Ya, ya, oke.. Gue loser. Terserah lo deh.” Jawabku, ingin pembicaraan ini segera selesai.
Beberapa teman mendekatiku, dan mencoba menyabarkan hatiku.
“Cin, please ya, kamu nggak usah sok kepinteran deh!” seru Ghina keras, marah.
“Sst, Ghin, udahlah Ghin gapapa… Gue nggak papa, Ghina...” bisikku.
“Udah, kamu tenang aja ya Cha, istirahat aja sana .. Cinta biar aku yang urus..” jawab Ghina seraya menepuk pundakku.
“Siapa yang sok kepinteran? Bukannya Si Anak Baru itu ya, yang sok kepinteran? Sok Pinter, tapi LOSER!” teriak Cinta keras.
“UDAHLAH GHIN! CIN! UDAH!” teriakku keras.
Beberapa teman sudah mulai meninggalkan kelas dan ada beberapa yang masih mau menonton ‘pertunjukan gratis’ ini.
“NGGAK ADA GUNANYA KALIAN BERANTEM SAMPE BABAK BELUR SEKALIPUN! PERCUMA..!” teriakku lagi.
“Tapi, Cha… Dia jelas-jelas udah kurang ajar ba—” Ghina tetap berada di pihakku.
“UDAHLAH GHIN! ITU URUSAN DIA! DIA MAU BILANG GUE LOSER LAH, APA LAH, TERSERAH! NGGAK ADA GUNANYA MASALAH INI DIPANJANG-LEBARIN! GUE TAU LO EMANG MAU BELAIN GUE, TAPI PLEASE NGGAK USAH BIKIN RIBUT! EMOSI KALO DILAWAN EMOSI NGGAK BAKALAN ADA HABISNYA!”
Ku tampar permukaan meja, membuat beberapa anak tersentak. Rasanya kerongkongan sudah mati rasa. Sakit. Teriak-teriak macam gini, udah nguras tenaga banget. Apalagi buat aku yang nggak banyak omong.
“Wah, wah, LOSER-nya mau meledak, nih…” sahut Lea.
Baru saja kulihat mulut Cinta terbuka, sepertinya ingin mengejekku lagi. Tapi aku sudah muak mendengarnya.
“AND, LO, CIN! TERSERAH DEH, LO MAU NGOMONG GUE APAAN! TAPI NGGAK USAH BIKIN KERIBUTAN! NGGAK USAH DI DEPAN UMUM! KITA SELESAI-IN MASALAH INI BERDUA!” teriakku parau, sepertinya organ bagian suaraku tersentak, tidak seperti biasanya mereka digunakan untuk berteriak-teriak.
Aku pun berjalan cepat meninggalkan kelas, menuju ke Kantin. Mungkin disana emosiku bisa lebih terkendali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar