_Benar-Benar ‘Hadiah’ yang Tak Terduga_
“Ayo Cha, balik ke kelas!” ajak Akbar seraya menggamit pergelangan tanganku.
“Ah, loe duluan aja deh Bar. Gue ntar nyusul..” jawabku menolak seraya menarik tanganku dari gengamannya.
“Ehm, ehm, ada yang pegang-pegangan nih kayanya…” goda Yudha.
“Sekali lagi loe ngomong gitu, gue timpuk, nih!” ancamku seraya—hampir—melempar bola basket.
“Wey, wey.!” elaknya, melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.
“Ya udah, aku duluan Cha.!” teriak Akbar, sudah mulai berjalan meningggalkan lapangan.
Entah mengapa aku mendengar nada ketus dari ucapannya. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
Pak Radith? Sudah sejak tadi beliau meninggalkan kami.
“Yup!” balasku seraya mengacungkan ibu jari pertanda setuju.
“Cieeee, udah sekelas, sebangku, nggak ketemu sebentar aja pamitan…” goda Bima.
Waah, ada yang tidak beres dengan teman-teman basketku.
“Mau gue timpuk?” tawarku.
Tawa mereka pun berderai.
“Bim, balik yok.” ajak Mike, yang sekelas dengan Bima.
Hanya Yudha yang berbeda kelas. Aku-Akbar berada di 7B, Bima-Mike di 7A, dan Yudha di 7D.
“Cha, ayo balik juga yok. Rame-rame..” ajak Bima kemudian.
Kami berempat pun melenggang menuju kelas masing-masing.
“Nesya, dari mana kamu?” tanya Pak Joddy, guru PKN yang terkenal galak.
Aku agak merinding mendengar pertanyaannya.
“Eh, mmm… dari lapangan basket, Pak. Bukannya Pak Radith sudah meminta izin?” tanyaku kemudian.
“Saya tahu.. Tetapi, jika latihan basketnya sudah selesai, apa perlu bercanda dulu di lapangan? Apa kamu tidak niat mengikuti pelajaran saya?” cerocos Pak Joddy.
“Saya—”.
“Jangan alasan, bahkan kamu belum mengganti baju basketmu dengan seragam sekolah. Bapak tahu, kamu ingin beralasan berganti baju, kan ?”.
Aduh, dua hal yang sangat, sangat, sangat aku kecewakan. Pertama, kenapa tadi aku tidak menerima tawaran Akbar untuk balik ke kelas bareng?. Kedua, aku benar-benar ceroboh. Mengapa tadi aku tidak mengganti baju basketku dengan seragam sekolah dulu? Echa bodoooh.! rutukku dalam hati.
“Kalau begitu, kamu mendapat PR 50 soal, sedangkan teman-temanmu hanya 25 soal.” cetus Pak Joddy memberikan ‘hadiah’ atas kenakalanku.
Aku hanya tertunduk dan berjalan lunglai menuju bangkuku.
“Surprise-nya indah banget, ya, Cha?” bisik Akbar ketika aku menghempaskan tubuhku di bangku kami.
Aku tersentak mendengar kata-kata itu terlontar dengan mudah dari mulutnya. Kukernyitkan keningku, dan sebelum sempat bertanya,
“Lagian jadi anak bandel amat. Aku udah ajakin kamu balik, kan ? Makan tuh, akibatnya…” sahutnya lagi, dengan sangat menjengkelkan.
Aku pun termangu. Apa maksud kata-kata Akbar tadi? Apa dia yang merencanakan semuanya? Apa dia yang memberitahukan ke Pak Joddy kalau aku tadi males balik? Astaghfirullah, kenapa aku jadi su’udzon gini? Nggak baik ah, Cha.
“Tapi gimanapun juga, dia nggak berhak ngomong gitu.. secara kalian sahabatan udah lama.. masa dia tega bilang gitu ke loe, kecuali kalo dia yang ngerencanain semuanya….” Nuraniku masih tak tega membiarkan kata-kata Akbar tadi.
***
“Pulang bareng yok, Cha.” ajak Akbar sepulang sekolah.
Biasanya, aku pulang bersamanya karena kami tetangga dekat. Aku mengernyitkan dahiku.
“Apa dia nggak merasa bersalah sama omongannya waktu PKN tadi?” rutukku.
“Pulang bareng?” ulangku.
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Semangat. Aku pun mempertimbangkan tawarannya.
“Woy, Cha, belum pulang?” tiba-tiba datanglah Bima, seraya menepuk pundakku dari belakang.
Aku tersentak dan tersedak teh botol yang sedang kuminum.
“Loe bisa pelan-pelan nggak sih, Bim?” bentakku sewot.
“Wew, wew, wew,. Lagi PMS kamu, Cha? Sensi banget..” oloknya.
“Mike-Yudha mana?” tanyaku, mengabaikan celetukan tak pentingnya.
“Pulang duluan. Eh, aku liat kamu sama Akbar disini, samperin aja kali.” Jawabnya santai seraya menyeruput—ralat, menghabiskan—teh botolku.
“Haus sih haus, bokek sih bokek, tapi apa perlu ngabisin teh gue? Sialan loe, Bim!” bentakku lagi seraya mendorong pundaknya.
“Ya maaf, Cha.” Jawabnya cengengesan.
“Loe pulang bareng siapa, Bim?” tanyaku kemudian.
Okelah, masalah barusan biarin aja.
“Kayanya sendiri aja, deh. Nggak ada temen, sih.” jawabnya.
“Loe ati-ati kalo pulang sendirian, ntar banyak cewek genit tuh.” godaku.
Yaah, maklum,, Bima salah satu cowok populer di sekolah.
“Chaa, ngomong apa sih? Nggak usah bahas itu, napa? Males deh. Bikin bad mood aja.” ucapnya sewot seraya memajukan bibirnya dengan muka tertekuk (baca: cemberut).
“Bimaaaaaaa, Bimaaaa.!” Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan fals dari—tentunya—para fans Bima.
“Tuh, ditungguin tuh…” godaku lagi seraya menunjuk ke arah para fans Bima yang sedang berlarian menuju tempat kami bertiga berdiri.
Tiba-tiba, Bima berlari kencang, seraya menggamit lengan kami—aku dan Akbar—.
Kami terengah-engah sampai ke suatu gang yang berada di dekat sekolah.
“Hhh, hhh, loe apa-apa..hh..an sih..hh..hh..Bim?” bentakku seraya mengatur nafas.
Agak lama, Bima tidak menjawab pertanyaanku. Begitu pula Akbar. Mereka berdua lebih pilih diam daripada mengomel sepertiku.
“Sorry, Cha, Bar. Aku terpaksa bawa kalian lari juga. Para Cewek Gila itu pasti bakalan keroyokin kalian berdua kalo kalian berhasil bebasin aku lari. Kalian ngerti, kan ?” ujar Bima memberi penjelasan, setelah nafasnya stabil kembali.
Aku dan Akbar pun manggut-manggut pelan.
“Ya udah, aku balik dulu ya Cha, Bar? Kalian pulang bareng, kan ?” tanya Bima.
Sejenak kami terdiam. Dan Bima pun mulai menggerakkan kakinya untuk meninggalkan kami.
“BIM!” pekikku tertahan.
Sontak Bima menoleh.
“Gue nggak ada maksud bikin Para Cewek Genit itu cemburu, tapi gue pengen pulang bareng loe. Ya?” pintaku memohon.
“Ada apa emangnya, Cha? Bukannya kamu biasa bareng Akbar? Lagian kalian tetanggaan, kan ?” tanya Bima heran.
Ku tatap Akbar sejenak. Ku gelengkan kepalaku, kemudian. Enggak.
“Udahlah Bim,. ya?” pintaku lagi.
Ku lirik Akbar dengan tatapan sadis.
“Hmm, iya dah.”
Akhirnya, Bima mengiyakan tawaranku.
Demi Tuhan, aku nggak ada maksud bikin Fans Bima cemburu, apalagi tertular virus mereka—menjadi fans Bima, tapi aku benar-benar terbakar kebencian oleh sikap Akbar saat PKN tadi.
“Kamu ada masalah sama Akbar, Cha? Secaraa, kalian nempel banget. Sampe banyak yang gosipin kalian gitu, kan? Pasti ada problem deh kalo kaya gini ceritanya.” Suara Bima memecah keheningan di antara kami.
Ku tendang kerikil yang menghalangi jalanku dan menoleh—ralat, menengadahkan kepalaku, karena dia terlalu tinggi—padanya.
“Yah gitu deh, Bim. Keliatan banget, ya?” tanyaku tertunduk.
Ia hanya mengangkat bahunya.
Saying I love you…
Is not the words I want to hear from you…
It’s not that I want you…
Not to say but if you only knew..
How easy, it would be to show me how you feel..
More than words..
Is all you have to do, to make it real..
Than you wouldn’t have to say…
That you love me..
‘Cause I’d already know..
What would you do..
If my heart was torn in two..
More than words, to show you feel..
That you’re love for me is real..
What would you say..
If I took those words away..
Than you couldn’t make things new..
Just by saying I love you..
Terdengar lantunan ‘More Than Words’ dari Westlife.
“Siapa? Fans yah?” tanyaku saat Bima mengeluarkan iPhone-nya.
“Mike. Bentar, ya.”
Aku pun mengangguk pelan.
“Wah Cha, sorry banget ya, aku diajak kumpul bareng Mike_Yudha. Kamu gimana?” tanya Bima kemudian.
“Hmm, gue pengen ikut nih. Sekalian ceritain masalah gue ma Akbar ke kalian bertiga… tapi bentar, gue ijin nyokap dulu.” Jawabku seraya mengeluarkan Black Berry-ku untuk menelepon Bunda.
“Gimana, Cha?” tanya Bima saat melihatku memasukkan handphoneku kembali ke dalam saku.
“Boleh. Yooookk…!” jawabku seraya menggamit pergelangan tangan Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar