_Rahasia-Rahasia Tak Terduga_
“Nesyaa, bangun Sayang.!” Sayup-sayup terdengar suara Bunda mengetuk pintu kamarku, keras tapi tidak termasuk kategori menggedor.
Aku bangkit dari alam mimpiku. Ku usap mataku, menghilangkan kantukku. Hanya memberikan efek yang kecil. Tapi lumayan daripada tidak sama sekali. Bunda masih terus mengetuk pintu kamarku lembut.
“Iya Bun, Nesya udah bangun.!” Jawabku malas, dengan suara berkumur.
Terdengar suarabantal jatuh. Tersandung kakiku.
“Ayo cepet, Sayang. Ada yang nungguin kamu, tuh.” Sahut Bunda dari luar kamar dan terdengarlah langkah kakinya, menuruni tangga.
Di lantai 2 ini, hanya ada kamar mandi kecil di sebelah kamarku, kamar tidurku, dan kamar tidur Bang Dio. Namun, ia sedang menduduki jenjang kuliah di luar kota , tepatnya Bandung . Sesekali ia pulang ke Surabaya meskipun hal itu sangat jarang.
“Siapa ya, nunggu aku? Aneh banget. Nggak mungkin lah kalo Akbar,. Siapa ya?” gumamku pelan seraya mengambil seragam putih-biruku di lemari pakaianku.
Tak lupa, handuk bermotif logo Avenged Sevenfold—band kesayanganku—pun tergantung di pundakku. Aku segera beranjak menuju kamar mandi yang tepat berada di sebelah kamar tidurku.
Saat kerannya kunyalakan, air tidak kunjung keluar.
“Wah, ngga beres, nih.” Gumamku.
“Bundaa, kok airnya enggak keluaar?” pekikku keras.
Suaraku pun menggema di langit-langit rumah.
“Iya Sayang, kamar mandi di atas enggak bisa dipake… Mandinya di bawah aja, Nes!” balas Bunda, sepertinya dari arah ruang makan.
Aku pun menggerutu seraya menuruni tangga dengan ekstra cepat.
“Nesya, pelan-pelan Sayang, turun tangganya…” nasihat Bunda yang sudah saaaaaaangaaaaaat sering ku dengar.
“Iya, Bun…” jawabku malas dengan suara berkumur.
Ku masuki kamar mandi dan segera mandi dengan kilat. Selesai mandi, aku segera menuju ke atas lagi, menuju kamar untuk mengambil tas. Setelah selesai, aku menuruni tangga dengan cepat lagi, nasihat Bunda terdengar lagi, aku menuju ruang makan, dan…
“BIMA? Ngapain kamu?” pekikku kaget.
Bima? Kok kesini?
“Yaa, nggak papa. Tadi maunya berangkat bareng Mike.. Tapi kamu tau lah, dia kan sukanya molor mulu.. Males aja nungguin dia kesiangan. Ya udah, aku putusin bareng kamu aja.” Jawabnya santai.
Aku manggut-manggut.
“Sayang, sarapan roti bakar atau nasi goreng?” tanya Bunda.
“Nasi goreng, Bun.” Jawabku.
Sontak kulihat tangan Bunda ingin meraih nasi goreng.
“Bundaa.. Berapa kali sih, Nesya bilang? Nesya nggak mau manja.. Nesya mau mandiri… Udah deh Bun, Nesya bisa sendiri kok.” Ocehku kecewa, karena Bunda selalu mencoba memanjakanku.
“Bunda, Nesya berangkat ya. Assalamu’alaikum…” salamku seraya mencium tangan Bunda, setelah nasi gorengku habis.
Bima pun ikut mencium tangan Bunda.
“Wa’alaikum salam..” jawab Bunda lembut.
“Cha, kamu beruntung banget ya, punya Bunda yang baiiik.. banget kaya gitu.” Bima angkat suara.
Aku pun menengadahkan kepalaku. Terlihat dia tertunduk, sepertinya ia sedih.
“Kamu kenapa, Bim? Kok sedih?” tanyaku bingung.
“Aku.. kangen Mamaku, Cha.” Jawabnya parau.
“Emang Mama kamu kemana, Bim? Wanita karier?” tanyaku semangat, mencoba menabahkan hatinya.
“Mama aku.. meninggal sejak aku kelas 3 SD, Cha.” Jawabnya semakin parau.
Ku telan ludahku.
“Mmm, maaf ya, Bim…”
“Ngga papa.” Jawabnya, tersenyum meskipun senyum itu terpaksa.
Merangkul pundakku semangat, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kamu.. bisa anggep Bunda aku itu Mama kamu. Sahabat sama saudara itu beda tipis, Bima..” ujarku mencoba menyabarkannya.
“Makasih banyak, Cha.” Senyumnya pun mengembang.
Aku mengangguk pelan.
“Kalau boleh aku tahu, Papa kamu kemana, Cha? Berangkat ke kantor pagi-pagi, ya?” tanya Bima heran.
“Ayah.. udah pergi, Bim.” Jawabku, kali ini lebih parau dari suara Bima yang tadi.
“Pergi? Ke kantor?” tanya Bima.
Aku benar-benar berusaha menahan tangisku.
“Cha?” tanya Bima, meminta kepastian.
“Aku.. cerita ntar aja ya. Cerita ke anak-anak A Be Ge. Nggak sekarang. Sorry ya, Bim.” Jawabku, bergetar. Menahan tangis.
“Cha, hari ini kenapa murung banget? Nggak biasanya kamu kaya gini.” Indra menyapaku, ketika jam istirahat baru saja dimulai.
“Ikut aku yuk, Ndra.” Ajakku.
Setelah mengirim pesan singkat ke anak ABG lainnya untuk segera berkumpul di kantin, aku dan Indra pun melenggang manuju ke kantin.
“Echa hari ini nggak asyik banget, sih?” gerutu Yudha.
“Iya, tuh. Kamu kenapa sih, Cha?” tanya Bima menyahut.
“Bukan Motcu yang biasanya, deh…” celetuk Mike seraya menyeruput minumannya.
“Oh iya Cha, pertanyaanku tadi pagi.. gimana?” celetuk Bima mengingatkan.
Semakin kuat kugigit bibirku. Rasa asin pun menyeruak. Darah. Aku segera meminum teh manisku agar perihnya tidak terasa lagi. Perih lebih karena pertanyaan Bima daripada karena bibirku yang berdarah.
“Emang ada apa, sih?” tanya Indra bingung.
“Tadi aku berangkat bareng Motcu, trus aku kenalan sama Bundanya. Aku cerita sama Motcu kalo dia bener-bener beruntung punya Bunda yang kaya gitu, yang sebaik itu,” suaranya parau. “Aku iri sama dia, sedangkan aku.. Mama aku meninggal waktu aku kelas 3 SD. Trus, Motcu ijinin aku nganggep Bundanya dia sebagai Mama aku juga. Dia bilang, sahabat sama saudara itu nggak beda jauh,” kali ini Bima mulai berkaca-kaca. “Waktu aku tanya ke dia, Ayah dia kemana, dia nggak jawab..” dan akhirnya kalimat Bima selesai dengan mengucurnya air mata.
Mungkin kalimat terakhir yang tidak terlalu panjang ini membuatnya tidak sanggup menahan tangisnya lagi. Sontak air mataku ikut mengalir, lebih deras dari air mata Bima.
“Mot? Kus? Kok nangis sih?” tentu saja anak-anak ABG terheran-heran, kebingungan.
Pasti mereka heran dengan kelakuan kedua sahabatnya ini.
“Ayah aku.. Ayah aku.. Ayah aku udah pergiiii.!” Pekikku keras, dan tentunya semakin membuat air mataku mengalir deras.
Ku tutup mukaku dengan kedua tangan yang berpangku meja kantin. Untung saja, hari ini kantin agak sepi.
“Tenang, Mot. Motcu tenang dulu. Ini minum dulu.” Perintah Yudha dan disodorkannya segelas jus Belimbing milik Bima.
Ku minum sedikit. Setelah agak tenang, Mike mengulang kembali pertanyaan Bima, “Ayah kamu pergi kemana, Cha?”
Air mata mengalir lagi. Pipiku serasa tersiram air hujan. Tapi kali ini hujan itu hangat.
“Ayah aku.. pergi, Mike.. Pergi..” jawabku, terisak.
“Iya, pergi kemana, Mot?” tanya Indra lembut.
“Pergi.. ke.. dunia lain..” jawabku pelan, tertunduk.
Air mata tak terbendung lagi. Bendungan itu kini tak kuat lagi menahan air yang terus mendesaknya. Sontak bangku yang biasanya ramai oleh lima anak kelas 7 yang gila itu hening.
Dan tanpa disangka, air mata membasahi pipi masing-masing. Begitu dekatnya kami sehingga saling merasakan ikatan batin antar-anggotanya. Kami berlima yang—Alhamdulillah—Muslim segera menengadahkan kedua tangan, berdoa untuk Ayahku dan Mama Bima.
“Kalian… udah aku anggep sahabat deket aku.. Sahabat yang paling deket, yang aku punya.. di SMP ini..” tiba-tiba suara Indra terdengar, masih lengkap dengan isaknya.
Kami berempat pun mengangguk-angguk, membenarkan ucapannya.
“Jadi.. aku mau kasih tahu sesuatu yang nggak ada satu orang pun yang tahu. Kecuali aku dan… dokterku.” Ujarnya, dengan sedikit memelankan volume suaranya di kata terakhir yang diucapkannya.
“Dokter?”
“Astaghfirullah….”
“Kamu sakit apa, Ndra?”
“Please jujur sama kita, Dum…”
Sontak kami berempat mengeluarkan komentar yang berbeda, hampir bersamaan.
“Sebenarnya aku.. sakit..” jelas Indra pelan, air mata membanjiri paras manisnya.
“Sakit apa, Dum?” tanyaku, mengusap air mata yang semakin menderas membanjiri pipiku.
“Kanker otak.” Jawabnya, berpangku tangan dengan tangisannya yang tak kunjung reda.
“Echa, Bima, Yudha, Mike, Indra, permisi…” tiba-tiba suara seorang wanita mengagetkan kami.
Melanie, ketua kelas 7B.
“Ada apa, Mel?” tanyaku parau.
“Pemberitahuan mendadak. Setelah istirahat ini, kegiatan belajar-mengajar sudah tidak ada. Sudah boleh pulang.”
Setelah menerima ucapan terima kasih dari kami, Melanie beranjak meninggalkan kami dengan raut muka penasaran.
Mungkin ia heran melihat kami berlima yang biasanya ramai dengan tawa, kini ramai dengan air mata.
“Kumpul yuk, di rumah aku.” Ajakku.
Setelah semuanya meminta izin pada orang tua masing-masing, kami bersiap menuju ke rumah. Di jalan, kami meneruskan perbincangan kami.
“Trus, kok yang tahu tentang ini cuma kamu sama doktermu? Keluargamu?” tanya Bima.
“Aku.. ngerahasiain hal ini ke semua orang. Aku nunggu, aku cari, kira-kira siapa yang bisa aku jadiin tempat curhat, karena aku nggak kuat nyimpen semuanya sendirian. Dan aku kenal, aku ketemu, aku deket sama kalian. Saat itu juga, aku yakin kalau kalian berempatlah orangnya.” Jawabnya.
Meskipun air mata masih ada, ia menjawabnya dengan nada santai.
Yudha: “Sejak kapan, Ndra?”
Indra: “Awal masuk SMP.”
Bima: “Kamu beli obat di mana, Dum?”
Indra: “Di RS Medika Husada.”
Mike: “Dokternya?”
Indra: “Salah satu dokter spesialis di RS Medika Husada, Dokter Sonny.”
Echa: “Trus, kalo kamu mau beli obat, gimana?”
Indra: “Aku ijin ke ortu kalo aku mau main ke rumah temen, atau apa aja lah. Lagian, ortuku jarang di rumah juga, sih.”
Bima: “Bukannya termasuk kategori “Bohong” ya, Ndra?”
Indra: “Berbohong demi kebaikan itu nggak papa, Tikus..”
Mike: “Uang? Kamu dapet darimana?”
Indra: “Harga obatnya Rp 300.000,00. Isinya cuma 30. Dosisnya juga 3X sehari. Pagi, Siang, Malem. Aku selalu nabungin uang sakuku buat beli obatnya.”
Bima: “Ya Allah, kamu sabar banget ya, Dum?”
Indra: “Karena aku percaya kalo semua ini udah takdirku. Tuhan udah janji di dalam firmannya, bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Aku selalu jadikan ayat itu sebagai patokan hidupku. Aku selalu tenang dengan ayat itu.”
Kami berempat pun termangu dengan kalimat-kalimat Indra. Betapa puitis nan menyentuh. Sangat berarti. Benar-benar tidak disangka kalimat seperti itu keluar dari bocah ingusan berumur belum genap 13 tahun.
“Matanya udah pada nggak merah semua, ya? Udah balik lagi, ya?” celetuk Mike aneh, seraya menghempaskan tubuhnya di kasurku.
Begitu pula dengan aku, Yudha, Bima, dan Indra.
“Maksudmu?” tanyaku, menanggapi celetukan anehnya.
“Yah… kan tadi kalian udah curhat, gimana kalo sekarang aku yang curhat? Dan, maaf, kayanya mata kalian bakal keluar airnya lagi..” ujar Mike serius.
“Yudh, aku mau cerita tentang.. Dek Putri. Gimana?” tiba-tiba Mike mengajukan pertanyaan kepada Yudha.
Sekedar informasi, mereka berdua satu ibu tetapi berbeda ayah. Saudara tiri gitu, deh. Yudha mengerutkan keningnya sejenak, berfikir. Kemudian ia mengangguk.
“Bentar, Bentar, Pil.”
Sebelum Mike memulai curhatnya, aku memotongnya. Semua nampak bingung. Ku ambil tisu di sebelah TV.
“Nih, jaga-jaga. Hehe..” candaku seraya meletakkan tisu tersebut di tengah-tengah lingkaran yang kami buat di atas tempat tidurku.
Sontak mereka berempat geleng-geleng kepala melihat kekonyolanku.
“Bisa dimulai?” tanya Mike.
Kami semua mengangguk.
“Kalian semua tahu lah, orang tuaku. Mereka berdua sangat sibuk dengan urusan karier masing-masing. Menurutku, menurut Yudha juga, mereka lebih peduli sama karier mereka daripada sama kita, anak-anaknya.” Mike mengawali curhatnya, melirik pelan ke arah Yudha.
Yudha mengangguk perlahan. Menurutku, Mike meminta bantuan Yudha untuk melanjutkan curhatnya.
“Bahkan mereka aja nggak tau, ketiga anaknya ini masih lengkap atau sudah berkurang.” Yudha melengkapi.
“Lho? Bukannya kalian cuma 2 bersaudara?” tanya Bima heran.
“Nggak, Kus. Kita berdua punya adek. Kalian nggak tahu, kan ?” Mike menjelaskan.
“ADEK? Kalian punya adek? Kok kita nggak pernah ketemu? Kelas berapa?” seruku kaget.
Sudah setengah tahun kami bersahabat, tapi kami barusan tahu kalau Yudha_Mike punya adek. Oh iya, lomba basket waktu itu digagalkan oleh SMP sebelah. Entah mengapa. Dan Indra sudah menjadi anggota tim basket inti, menggeser posisi Akbar.
“Mungkin sekarang dia kelas 5 SD.” jawab Yudha.
Sontak kami bertiga mengerutkan kening.
“Kok ‘mungkin’?” tanya Indra seraya membentuk tangannya menjadi tanda kutip di kata “mungkin”.
Sebelum menjawab, air mata Yudha_Mike mengalir deras.
“Dia.. almarhumah, Dum.” jelas Mike, suaranya bergetar.
Sontak kami bertiga ikut menangis. Aku bener-bener nggak nyangka, dalam sehari kami mendengar 3 curhat tentang KEMATIAN. Ayahku, Mama Bima, dan Dek Putri.
“Dan.. itu karena KITA..” pekik Yudha keras.
Volume suaranya semakin keras, begitu pula dengan tangisannya, semakin deras.
“Kok bisa?” tanya Bima, mengusap air matanya dengan tisu yang berada di tengah-tengah lingkaran yang kami buat dan tinggal beberapa helai (karena sejak tadi sudah dipakai untuk menghapus air mata dari masing-masing anak ABG).
“Waktu itu, dia minta belajar sepeda motor.. Waktu itu kita berdua masih kelas 6 SD dan dia kelas 4 SD. Dia bilang, dia pengen diajarin naik motor. Katanya, di kelasnya udah banyak anak-anak yang bisa menyetir motor sendiri. Karena Putri anaknya tinggi kaya Mike gini, dia gampang diajarin naik motornya. Pertama dia nyetir dan aku atau Mike di belakangnya. Trus, kita pengen dia nyetir sendiri tanpa kita di belakangnya. Dia udah bilang kalau dia masih takut, tapi kita MAKSA. KITA MAKSA DIA.” Yudha berhenti, sepertinya ia sudah tak sanggup menceritakan bagian selanjutnya.
“Kita lupa, kalau deket rumah situ ada sungai yang arusnya bener-bener deras. Putri masih takut, ia menyetir motor dengan bergetar. Di depan sungai itu, ia benar-benar tegang dan nggak bisa berkelit lagi.” Mike menambahi sedikit, dan air mata membanjiri pipinya.
“Udah, udah, jangan diterusin lagi. Kita udah ngerti,.” Jawabku.
Air mata menggenang di pelupuk mataku dan segera hancur menjadi bulir-bulir kecil, membasahi wajahku. Begitu pula anak ABG yang lainnya.
“Dan ada satu lagi, sampai detik ini Mama_Papa kita belum tahu kalau Putri udah nggak ada.” Jelas Mike terisak.
Pernyataan ini membuat kami semua benar-benar terhenyak.
Hari ini benar-benar nggak bisa disangka. Dalam waktu sehari, aku dengerin curhat dari masing-masing anggota ABG. Di akhir curhat kami, kami menengadahkan tangan untuk berdoa.
Semoga Ayahku dan Mama Bima tenang di sana . Semoga Indra segera sembuh dari penyakitnya. Semoga Putri tenang, dan bisa kenal dengan Ayahku dan Mama Bisma. Semoga ortu Yudha_Mike bisa segera memperhatikan mereka, segera peduli pada kedua anaknya yang tersisa. Sesibuk apapun mereka. Amin. Tiba-tiba hujan deras mengguyur bumi. Kami harap, hujan ini pertanda bahwa Tuhan mengabulkan do’a kami. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar