_Empat_
“Bunda, kok kita ke Rumah Sakit? Katanya mau ketemu sama Ayah dan Kak Syaqib..” tanya Ilham heran.
Bu Nur diam. Beliau menyapukan pandangannya ke penjuru Rumah Sakit, lantas beliau menemukan sebuah lift. Beliau mengajak Ilham kecil memasukinya, lantas beliau menekan tombol 3.
Kamar 54. VIP.
“Bunda, katanya kita mau ketemu Ayaaah..” Ilham kecil mulai tidak sabar. Ia menarik-narik ujung baju Bundanya.
“Bunda, katanya kita mau ketemu Ayaaah..” Ilham kecil mulai tidak sabar. Ia menarik-narik ujung baju Bundanya.
“Ssst...” Bu Nur menempelkan telunjuk kanannya di bibir merahnya.
Lantas Bu Nur mendorong pelan pintu kamar tersebut.
“Bunda?” Kak Syaqib nyaris memekik melihat Bu Nur serta Ilham datang.
“Kak Syaqib?” Ilham sempat berbinar melihat Kak Syaqib. Namun, dengan segera pandangan matanya berubah menjadi nanar. Melihat Ayahnya terkapar lemah dan tak sadarkan diri di ranjang Rumah Sakit, membuatnya ingin menghambur ke arah Pak Harris. Memeluk Ayah kebanggaannya tersebut. Namun apa daya? Berbagai macam selang membelit tubuh Ayahnya. Berbagai peralatan medis berceceran, bekerja membantu Ayahnya bertahan hidup.
“Ayah..” Ilham kecil menyebut nama Ayahnya, tercekat. Ia tak percaya, sosok yang selama ini memotivasinya untuk bangkit dari keterpurukan, kini terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit. Air mata sudah terbendung di pelupuk matanya yang mungil. Dengan kuat, berusaha untuk meluncur keluar, menuruni pipi gembulnya.
“Ilham sabar ya, Nak?” ujar Bu Nur, mencoba tersenyum meski getir. Menyabarkan anak tersayangnya, sekaligus menabahkan hatinya yang juga miris melihat kondisi suami yang amat dicintainya.
“Ayah.. Ayah kenapa, Bunda?” tanya Ilham, kali ini tak dapat menahan bendungan air matanya.
Kak Syaqib menghampiri Ilham, lantas mengusap-usap punggungnya, merangkulnya. Mencoba menenangkan hati Ilham, yang sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya.
“Kak, Ayah kenapa?” tanya Ilham, terisak.
“Sabar ya Dek.. Allah menyayangi para hamba-Nya yang bersabar..” ujar Kak Syaqib, mengusap-usap punggung Ilham kecil, membenamkan wajah serta tangisan adiknya tersebut dalam pelukannya.
Pintu kamar terbuka. Seorang dokter menyeruak masuk, bersama dua suster di belakangnya.
“Ada apa, Dok? Ada apa dengan suami saya?” Bu Nur memberondong Pak Dokter dengan pertanyaannya.
“Permisi, Bu. Saya dan para suster akan memeriksa suami Anda.” Jawab Pak Dokter tenang. Bu Nur pun mempersilahkan.
“Permisi sebelumnya, Ibu dan anak-anak Ibu bisa keluar sebentar?” tanya Pak Dokter sopan.
“Oh, iya Pak. Ayo, Sayang..” ajak Bunda kepada Ilham dan Kak Syaqib.
Setelah agak lama menunggu, Pak Dokter beserta kedua susternya keluar dari kamar tersebut. Membuat Bu Nur seketika bangkit dari duduknya dan segera memberondong ketiganya dengan pertanyaan-pertanyaan heboh.
“Bagaimana suami saya, Pak? Apa yang terjadi padanya? Ia baik-baik saja, kan? Nyawanya masih bisa terselamatkan, kan?” Bu Nur bertanya-tanya dengan wajah khawatir.
“Kami sudah mengusahakan yang terbaik, Bu. Tetapi Tuhan berkehendak lain..” jawab Pak Dokter. Wajahnya murung.
Seketika Bu Nur menangis histeris. Ia sudah paham apa maksud Pak Dokter. Kak Syaqib juga menangis, mengusap-usap pelan punggung Bu Nur. Ilham kecil masih bingung. Ia masih bertanya-tanya, ada apa?
“Kak Akib, Bunda.. Apa yang terjadi? Ayah kenapa?” tanya Ilham, yang masih belum memahami semua ini.
Bu Nur tidak menjawab. Beliau masih belum bisa menerima semuanya. Beliau masih berkabung, dan tak ingin anak semata wayangnya yang baru berumur 4 tahun itu ikut berduka.
“Sabar ya, Dek.. Ada Kakak dan Bunda di sini..” jawab Kak Syaqib, namun masih belum cukup untuk memuaskan rasa ingin tahu Ilham yang begitu besar.
“Ayah kenapa sih, Kak?” tanyanya.
Kak Syaqib tidak menjawab, justru terisak bersama Bunda. Keduanya menangis. Ilham belum mengerti apa penyebab mereka berdua menangis. Dan ia semakin penasaran dibuatnya.
“Ya sudah, kalau Bunda dan Kakak nggak mau jawab, Ilham lihat sendiri aja.” Ujarnya ketus, lantas memasuki kamar nomor 54 tersebut.
Berbagai macam peralatan medis sudah tidak membelit tubuh Ayahnya. Bahkan selang infus juga. Tapi ada yang ganjil dalam pandangan seorang Ilham kecil. Mengapa sekujur tubuh Ayahnya ditutup dengan selimut? Dari ujung kaki hingga ujung rambut Ayahnya tertutup oleh selimut.
Ditemani rasa berani dan penasarannya, Ilham membuka ujung selimut yang menutupi wajah tampan Pak Harris. Ia melihat Pak Harris tersenyum, matanya tertutup. Ayah tersayangnya itu terlihat sangat damai dan bahagia.
Bu Nur dan Kak Syaqib menyusul masuk ke kamar 54 tersebut. Sesampainya di kamar, keduanya terkejut melihat Ilham sudah melihat langsung wajah Pak Harris. Terkejut melihat Ilham, yang dengan beraninya membuka selimut yang menutup wajah Ayahnya.
“Kok selimutnya dibuka, Nak?” tanya Bu Nur, menghampiri Ilham dengan Kak Syaqib di belakangnya.
“Kasihan Ayah, Bun. Kalau mukanya ditutup dengan selimut, nanti nggak bisa bernafas dong.” Jawab Akib lugu, tak tahu bahwa Ayahnya itu sudah tidak lagi membutuhkan nafas.
Bu Nur tak kuasa menahan tangisnya mendengar jawaban lugu anaknya. “Ya Allah, bagaimana aku harus mengungkapkannya? Ia baru berumur 4 tahun dan yatim. Bagaimana aku menjelaskannya, Ya Robb?” nurani Bu Nur menjerit.
“Sayang.. Ilham tahu sesuatu, Nak?” Bu Nur mencoba mengawali pembicaraan.
Kak Syaqib ikut andil. Ia paham, Bu Nur akan segera memberitahukan yang sebenarnya kepada Ilham. Lantas, dengan sigap ia menarik Ilham kecil dalam pangkuannya.
“Apa, Bunda?” tanya Ilham penasaran.
“Ayah sudah tidak bisa bersama-sama dengan kita lagi, Nak..” ujar Bu Nur, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan bendungan tangisnya.
“Loh? Ayah mau ke mana, Bun?” tanya Ilham, lugu.
Lagi-lagi Bu Nur menggigit bibirnya dan menghela nafas panjang. “Ayah mau ke surga, Sayang..” Fiuuh, rasanya beban dunia berada di pundak Bu Nur ketika mengucapkannya.
“Maksud Bunda apa?” tanya Ilham, gemetar. “Maksud Bunda, Ayah meninggal?” lanjutnya, menahan tangis.
“Dek, kehidupan dan kematian seseorang itu sudah diatur.. Mungkin sudah waktunya Ayah berpulang..” jawab Kak Syaqib, membelai penuh sayang rambut Ilham.
Ilham kecil menangis keras. Ia tidak menyangka dan tidak pernah berharap bahwa ia akan menjadi anak yatim pada umur 4 tahun..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar