Sabtu, 05 November 2011

My World, My Future #Chapter Five


_Lima_
   Sarapan Bu Nur pagi itu belum tandas. Beliau berlari tergesa-gesa menuju kamar mandi di dekat dapur, yang agak jauh dengan ruang makan. Ilham memandangi Kak Syaqib penuh tanda tanya. Sejak kematian Pak Harris, Kak Syaqib tinggal bersama Bunda dan Ilham. Kak Syaqib hanya mengangkat kedua pundaknya. Keduanya saling berpandangan. Lantas segera menuju ke kamar mandi, menyusul Bunda. Sepertinya ada sesuatu yang ganjil.
   “Bunda kenapa?” dengan sigap, Kak Syaqib segera memegang kedua pundak Bu Nur dan memapahnya menuju kamar. Ilham dan Kak Syaqib melihat Bu Nur mengeluarkan kotoran cair melalui mulutnya. Bu Nur muntah.
   Bu Nur meneguk air mineral dalam gelas yang disodorkan Ilham hingga tandas.
   “Bunda nggak papa, Sayang..” jawab Bu Nur lirih seraya membelai pelan rambut kedua putranya. Suaranya terdengar lemah. Energinya pun sepertinya terkuras habis oleh muntahannya barusan.
   “Bunda sakit? Nggak enak badan?” tanya Ilham khawatir.
   “Nggak, Sayang.. Bunda nggak papa..” jawab Bu Nur, berusaha meyakinkan kedua putranya. “Sekarang, Ilham sama Kak Akib terusin sarapannya, ya?” titah Bu Nur.
   “Bunda nggak sarapan?” tanya Kak Syaqib,  mengingat Bu Nur baru memakan sarapannya beberapa sendok saja.
   “Nggak usah, Kib. Bunda mual.” Jawab Bu Nur lemas.
   “Ya sudah, Bunda istirahat aja dulu.. Nanti malam saya antar ke dokter..” ujar Ilham halus, lantas menyelimuti tubuh Bundanya.
   “Kakaaak.. Cepetan turuuun..” terdengar Ilham memekik.
   “Iya, Dek..” jawab Kak Syaqib, menutup pelan pintu kamar Bu Nur dan menuruni satu-persatu anak tangga pualam di rumah indah mereka…
***
   Tok tok tok.. “Bunda.. Bolehkah saya masuk?” Kak Syaqib mengetuk pelan pintu kamar Bu Nur.
   “Iya, Nak…” jawab Bu Nur, masih berbaring di atas tempat tidurnya. “Ada apa?” tanyanya, saat Kak Syaqib mulai menghampirinya.
   “Bunda makan dulu, ya? Bunda belum makan sejak tadi pagi..” tawar Kak Syaqib, membawa sebuah nampan berisi sepiring nasi dan lauknya, serta segelas susu.
   Bu Nur menggeleng lemah.
   “Bunda.. Saya khawatir dan sedih melihat keadaan Bunda.. Dek Ilham juga pasti sedih melihat Bundanya seperti ini..” ujar Kak Syaqib memohon.
   “Adikmu di mana?” tanya Bu Nur seketika.
   “Tidur siang, Bun.. Ia pasti akan sangat kecewa jika ketika ia bangun nanti, Bundanya masih terbaring lemah di ranjangnya… Dan menolak makanan yang saya bawakan..” jawab Kak Syaqib, masih berusaha membujuk Bu Nur.
   Bu Nur diam. Perutnya mual, kepalanya pusing, tetapi ia juga tak ingin melihat Ilham sedih. Dahinya berkerut. Beliau bingung.
   “Makan ya, Bun? Saya suapin…” Kak Syaqib masih belum menyerah.
   Meski enggan, Bu Nur akhirnya mengangguk.
   Baru saja Kak Syaqib menyuapi Bundanya dengan dua sendok makan yang sama sekali tidak penuh, raut wajah Bu Nur kembali terlihat masam. Dengan siaga, Kak Syaqib memapah Bu Nur menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar Bu Nur.
   “Terima kasih ya, Kib. Akib perhatian sekali sama Bunda..” ujar Bu Nur lirih.
   Kak Syaqib mengangguk. “Itu sudah tugas saya, Bun… Saya tulang punggung sekarang. Saya harus bisa seperti Ayah. Saya harus mampu menjaga Bunda dan Dek Ilham..”
   “Kib, bangunkan adekmu. Antar Bunda ke dokter sekarang, ya?” titah Bu Nur.
   Nggih, Bun…” ujar Kak Syaqib mengiyakan, lantas mencuci piring bekas makanan Bu Nur dan menuju kamar adiknya yang juga menjadi kamar tidurnya..
   “Dek… Adek..” Kak Syaqib mengguncang-guncang tubuh Ilham yang tengah tertidur pulas.
   “Hm?” Ilham menggumam, entah sadar atau tidak.
   “Ayo bangun.. Kita bertiga mau pergi..” bisik Kak Syaqib pelan, namun nadanya menggoda. Membuat Ilham kecil menjadi semangat.
   “KE MANA?!” Ilham kecil sontak bangkit dari tidurnya. Matanya berbinar, menggemaskan.
   “Kita mau periksain Bunda.. Kasihan Bunda, Dek..” jawab Kak Syaqib.
   “Yaaah, nggak seru dong…” gerutu Ilham, kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur empuknya.
   “Eits.. Ayo, Adeknya Kakak nggak boleh males.. Masa Ilham nggak kasihan sama Bunda? Masa anak sholeh nggak mau nganterin Bundanya periksa?” ujar Kak Syaqib. 
   Dada Ilham kecil bergemuruh. Ia sangat ingin menjadi anak yang sholeh. Berbakti kepada kedua orang tua...
   “Iya, iya, Kak. Ilham mau.” Jawabnya sungguh-sungguh, lantas beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Kak Syaqib tersenyum bangga melihat betapa adiknya tersebut begitu bersemangat untuk mendapatkan predikat “Anak Sholeh”. Ia yakin, suatu hari nanti Ilham bisa menjadi orang sukses..
***
    “Kak, Ilham pengen es krim..” mobil sudah berhenti di tempat parkir Rumah Sakit. Entah, tiba-tiba Ilham minta dibelikan es krim.
    “Nanti ya, Sayang. Kita antar Bunda dulu..” jawab Kak Syaqib sabar.
    Ilham kecil cemberut. Wajah imutnya terlihat benar-benar menggemaskan. “Ilham pengen beli es krim sekarang..” rajuknya.
    “Lho? Trus Bunda gimana?” tanya Kak Syaqib lembut.
    “Emm.. Gimana, ya?” dengan lucunya, Ilham kecil mengusap-usap kepalanya yang tidak gatal. Pura-pura berfikir.
    “Ya sudah, begini saja.. Kalian berdua antar Bunda sampai di depan ruangan Dokter Amy, langganan Bunda. Setelah itu, kalian cari es krim di luar.” Saran Bunda.
    “Lalu, Bunda bagaimana? Saya nggak tega ninggalin Bunda..” tanya Kak Syaqib khawatir.
    “Ah, nggak papa kok Kib. Lagian, ini kan dokter langganan Bunda. Nggak perlu khawatir. Sudah, kamu temani adikmu sana.” Jawab Bunda.
    “Beneran, Bunda nggak papa sendirian?” tanya Kak Syaqib, masih khawatir.
    “Iya..” jawab Bunda. Lantas Kak Syaqib dan Ilham pun berlalu.
***
    Sebuah pesan singkat singgah di handphone Kak Syaqib. Dari Bunda.
    Kib, Bunda sudah di rumah. Tadi Dokter Amy mau pulang, beliau memaksa ingin mengantar Bunda. Bunda punya kejutan untuk kalian berdua.
    Reply.
    Tolong ucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk Dokter Amy, dan maaf sudah merepotkan.. Kejutan? Bagaimana dengan hasil pemeriksaannya?
    Sent.
    Kamu bisa melihat sendiri setelah berada di rumah nanti.. J
   “Wah, Bunda main rahasia-rahasiaan.” Ujar Kak Syaqib lirih, lantas mempercepat laju mobil. Ia melirik sebentar ke arah adiknya yang tengah tertidur pulas, lantas tersenyum. Sepertinya ia tahu apa yang dimaksud Bunda..
***
    Ternyata dugaan Kak Syaqib benar. Ia pun turut senang. Ya, ia dan juga Ilham akan segera mempunyai seorang adik. Bunda hamil.
    “Adeek.. Cepet keluar, dong.. Nanti Kakak ajak main.. Kalau kamu cowok, Kakak ajak main bola.. Kalau kamu cewek, Kakak nggak tau mau main apa.. Tapi cepetan keluar, yaa…” Ilham dengan lucunya ‘berbincang-bincang’ dengan adik di dalam rahim Bundanya.
    Bu Nur serta Kak Syaqib menahan tawa mereka melihat tingkah Ilham kecil. Dalam kalbunya, Bu Nur memanjatkan sebuah do’a, “Ya Allah, izinkan anak kedua—eh, anak ketiga– saya lahir dengan selamat… Saya hanya ingin Ilham bahagia..” Oh, sungguh, sebaik-baiknya wanita ialah seorang ibu yang menyayangi anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar