Sabtu, 10 Desember 2011

My World, My Future #Chapter Thirteen

_Tiga Belas_
   Senin, 16 Juli 2002…
   In a time of darkness and greed..
   It is your light that we need…
   You came to teach us how to live..
   Muhammad, Ya Rasul Allah..
   You were so caring and kind..
   Your soul was full of light…
   You are the best of mankind..
   Muhammad, khairu khalqillah..
   Sallu ‘ala rasulillah..
   Habibil Mustafa…
   Peace be upon the Messenger...
   The Chosen One..
   From luxury you turned away..
   And all night you would pray..
  Truthful in every word you say..
  Muhammad, Ya Rasul Allah..
  Your face was brighter than the sun..
  Your beauty equaled by none..
  You are Allah’s Chosen One…
  Muhammad, khairu khalqillah..
  Sallu ‘ala rasulillah….
  Habibil Mustafa
  Peace be upon the Messenger..
  The Chosen One..
  I’ll try to follow your way…
  And do my best to live my life..
  As you taught me..
  I pray to be close to you..
  On that day and see you smile..
  When you see me..
  Sallu ‘ala rasulillah..
  Habibil Mustafa…
  Peace be upon the Messenger…
  The Chosen One..
  Sallu ‘ala rasulillah..
  Habibil Mustafa
  Peace be upon the Messenger…
  The Chosen One..  
  Sallu ‘ala.. rasulillah..
  Peace be upon..
  The Chosen One..
  Alarm dari telepon genggamku selesai berbunyi. Telepon genggamku ini super-canggih, tapi menyebalkan. Alarmnya hanya bisa dimatikan ketika nada deringnya habis. Akhirnya, ‘The Chosen One’ yang dinyanyikan Maher Zain tandas juga. Ku raba-raba meja di sebelah tempat tidurku, tempat handphone-ku bersarang. Nah, ini dia! Dengan mata yang baru ku buka seperempat, aku mematikan alarmnya dengan segera. Alarm akan berbunyi setiap 5 menit sekali.
   Aku kembali tidur. Aku lupa apa tujuanku menyalakan alarm hari ini. Aku pelupa dan suka begadang. Lebih tepatnya, aku pelupa dan suka bangun kesiangan.
   Tak lama, terdengar ketukan keras dan suara Kak Ilham berseru. “Dek! Adek!” ia terus mengetuk pintu kamarku dengan keras.
   Aku tak menjawabnya. Ah, biarkan saja! Mungkin ia akan membangunkanku dan memerintahkanku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah.
   Tak ada jawaban, Kak Ilham membuka pintu kamarku.
   “Tuh kan, masih tidur.. Apa gunanya alarm, coba?” gerutu Kak Ilham.
   Aku tetap bungkam.
   “Dek.. Ayo, bangun..” titahnya, membuka selimut dan mematikan AC. Dengan cara seperti itu, aku pasti bangun.
   “Ngapain sih, Kak? Ini kan masih jam enam..” gerutuku, melirik ke arah jam dinding di kamarku.
   “Kamu lupa hari ini hari apa?” tanya Kak Ilham santai.
   Aku mengambil handphone-ku, lantas melihat hari.
   “Senin, Kak.” Jawabku, santai pula.
   “Tanggal berapa?” tanyanya lagi.
   Ku lirik lagi handphone-ku. “Enam belas.” Jawabku malas. “Kenapa, sih?” lanjutku.
   “Kamu masuk sekolah hari apa?” tanyanya lagi, memasang muka jahil.
   Aku mengerlingkan mataku, mencoba mengingat-ingat. “Ya Allah! Kenapa nggak bilang dari tadi sih, Kaaaaaaaak?” pekikku heboh. Aku baru saja ingat bahwa hari ini hari pertamaku masuk sekolah baru!   
   “Hayo, heboh..” goda Kak Ilham, mendorongku dari belakang.
   Aku menuju ke kamar mandi dengan blingsatan. Tergesa-gesa.
***
   Aku turun dari mobil dan melambaikan tanganku kepada Kak Ilham. Lantas aku masuk ke dalam sekolah baruku ini. Sialnya aku! Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Sudah sejak setengah jam yang lalu bel sekolah berdering. Sialnya lagi, aku sama sekali tidak mengikuti MOS 3 hari kemarin, karena aku terserang cacar air. Jadi, aku harus mencari letak kelasku terlebih dahulu.
   “Hei!” seseorang menepuk pundakku dari belakang.
   Aku menoleh. Ada seorang anak perempuan yang manis berdiri di hadapanku. Ia berkulit putih, tingginya hampir sama denganku, dan sepertinya… centil.
   “Apa kita pernah kenal sebelumnya?” tanyaku, tanpa basa-basi. Ah, semoga ia tidak marah.
   “Seingatku belum. Maka dari itu, aku ingin berkenalan denganmu.” Jawabnya, tersenyum tulus.
   “Hmm, bolehkah kita berkenalan sambil menuju ke kelas? Aku sedang mencari kelasku.” Ujarku.
   “Mmm, kita lihat aja di mading. Aku nggak ikut MOS kemarin. Kamu juga ya? Namamu siapa?” tanyanya, mengayunkan kakinya bersamaku.
   “Iya nih. Aku kena cacar. Sophie Robbani. Biasa dipanggil Sophie atau Opi. Kamu?” tanyaku.
   “Annisa Marseli. Isa.” Jawabnya.
   “Salam kenal.” Ujarku, dan ku lihat ia mengangguk.
   Kami menatap mading di hadapan kami. “Sophie! Ini nama kamu!” seru Isa, menunjuk namaku di deretan nama-nama siswa baru. Ku lihat kelasku. 7B.
   “Yes! Kita sekelas!” pekiknya lagi.
  Aku tersenyum. Sepertinya, Isa bukan teman yang buruk.
***
  Ku ketuk pelan pintu kelas baruku. Lantas ku dorong perlahan.
  Yah, layaknya sebuah kelas baru.. Teman-teman baru, guru baru, dan hari pertama diawali dengan perkenalan. “Masuk!” seorang ibu-ibu paruh baya memerintahkan kami untuk masuk. 
  “Saya wali kelas kalian. Bu Ira. Perkenalkan diri kalian.” Pinta Bu Ira, ramah.
  “Hai. Namaku Anisa Marseli, biasa dipanggil Isa. Salam kenal.” Isa memperkenalkan dirinya lebih dulu.
  “Dan aku Sophie Robbani. Kalian bisa memanggilku Sophie atau Opi. Salam kenal juga.” Aku turut memperkenalkan diri.
  “Oke, kalian bisa duduk di sana. Tak apa kan, kalian duduk sebangku? Karena hanya ada dua kursi di belakang.” Ujar Bu Ira.
  “Tidak apa-apa, Bu! Terima kasih!” sahut Isa senang, membungkukkan badannya.
  “Yeah! Kita bisa sebangku juga!” bisik Isa, senang.
  Aku tersenyum. Aku juga senang.

My World, My Future #Chapter Twelve

_Dua Belas_
   “Kak, hasil tesnya bisa dilihat sekarang di websitenya SMP Tegar..” ujarku, saat ku lihat Kak Ilham sedang memotong-motong wortel. Alhamdulillah, kami diberi kemudahan untuk hidup berdua tanpa pembantu. Kami bisa memasak.
   “Oh iya? Memang sekarang tanggal berapa?” tanya Kak Ilham, lantas memasukkan potongan-potongan wortel ke dalam panci. Pagi ini kami memasak sup merah untuk sarapan.  
   “Emm.. Tanggal 27, Kak.” Jawabku, melirik ke arah telepon genggamku. Liburan, Everyday is Sunday!
   “Oh. Ya udah kamu buka aja websitenya. Pagi ini full Kakak yang masak. Berarti, besok kerjaanku cuma tidur. Kamu yang masak.” Celetuknya, terkekeh.
   “Ih, apaan? Nggak, ini kan urusan sekolah! Nggak ada sangkut-pautnya sama masak-memasak.” Cibirku, tak setuju.
   “Dilarang protes. Aku ini Kakakmu.” Jawabnya, lagi-lagi menyebut-nyebut asas menyebalkan tersebut.
   “Terserah aja, deh. Masa bodoh, pokoknya besok Kakak bantuin aku masak.” Tegasku, lantas dengan segera menuju ke kamar.
   Ku ambil netbook-ku. Setelah menunggu loading yang lumayan lama, aku membuka program Mozilla Firefox lantas menuliskan alamat web SMP Tegar. Ku telusuri daftar nama-nama anak yang lulus tes dan berhak menjadi murid baru di SMP ini.
   “Kakaaaak..” pekikku keras.
   Terdengar Kak Ilham tergopoh-gopoh menaiki anak tangga. “Ada apa, Dek?” tanyanya, terengah-engah. Berusaha mengatur napasnya.
   “Minum dulu, Kak..” ku sodorkan segelas air mineral padanya. “Ini Kak, lihat.” Pintaku, menunjuk layar netbook yang menampilkan daftar nama siswa baru SMP Tegar.
   Kontan, Kak Ilham menutup kedua matanya dengan telapak tangan kanannya. Tentu saja aku terkejut melihat reaksinya.
   “Ada a—” tanyaku.
   “Tanpa Kakak lihat, Kakak udah tahu kalau kamu diterima.” Jawabnya, memotong pertanyaanku.
   Lantas ia membuka kedua matanya dan memelukku dengan erat, penuh kasih sayang. Aku membalas pelukannya, dan tanpa ku sadari ada yang meluncur dari pelupuk mataku. Aku membiarkannya meluncur dengan bebas, membasahi kaus yang dikenakan Kak Ilham. Baru ku sadari, inilah pelukan pertama kami selama 11 tahun. Tangisan bahagiaku semakin menjadi. Bahagia karena telah menemukan sekolah baru, dan karena aku sadar bahwa Kak Ilham menyayangiku dengan sikap menyebalkannya. Aku mempererat pelukanku, dan baru ku sadari kalau kaus bagian belakangku terasa basah. Tak apa, sepertinya kami sedang mempelajari dan baru mengerti arti kasih sayang yang sebenarnya dalam ikatan persaudaraan.

My World, My Future #Chapter Eleven

  _Sebelas_
   “Hoooaaaaahmm..” aku menguap lebar. Ku tautkan jemariku satu sama lain, lantas mendorongnya ke depan untuk meregangkan seluruh anggota tubuhku. Aku di mana? Pertanyaan itu yang terngiang di kepalaku seketika. Ini bukan kamarku. Ini.. MOBIL?!
   Aku sadar sekarang. Semalam pasti Kak Ilham tidak membangunkanku dan membiarkanku tidur di sini. Apa ia gila?! Aku keluar dari mobil dan berjalan cepat ke dalam rumah.
   Aku mencarinya di ruang tengah serta ruang makan. Tak jua ku temukan batang hidungnya, bahkan sehelai rambutnya yang terlalu sering diberi minyak rambut hingga kaku ketika disentuh.
   Mungkin ia masih tidur.. Pikirku. Lantas, dengan segera aku menuju ke kamarnya.
   “Kak!” gedorku, keras.
   Tidak ada jawaban.
   Ku beranikan diri membuka pintu kamarnya. Benar saja. Mana pernah ia mengunci pintu kamarnya?
   Kak Ilham masih tertidur lelap dengan AC yang terlampau dingin dan tubuh yang dibalut sehelai selimut tebal.
   “Kakak!” seruku, membangunkannya dengan keras.
   “Umm?” gumamnya, membuka sedikit mata kanannya.
   “Bangun!” paksaku, menarik tangan kanannya yang terjulur dengan paksa.
   “Ada apa, sih?” tanyanya, mengusap-usap matanya.
   “Maksud Kakak apa? Kakak sudah gila? Meninggalkan aku—adekmu—di dalam mobil semalaman bukanlah hal yang patut dilakukan! Bagaimana jika aku kekurangan oksigen di dalam sana? Maksud Kakak apa, sih?!” cerocosku panjang lebar.
   “Ya udah nggak usah banyak omong. Cepat mandi. Setelah ini Kakak antar kamu tes masuk SMP Tegar.” Ujar Kak Ilham ringan, seperti tak mendengar omelan panjangku barusan.
   Mau bagaimana lagi? Niatku tadi kan hanya ngomelin Kak Ilham. Aku kan nggak berniat bikin dia menyesal atau apa.. Jadi, tugasku selesai.

My World, My Future #Chapter Ten

_Sepuluh_
   “Dek, gimana? Kamu mau masuk SMP mana?” tanya Kak Ilham padaku. Seminggu telah berlalu sejak keberangkatan Kak Syaqib ke Berlin. Dan, kami sudah harus memulai mencari sekolah dan kampus baru.
   “SMP Tegar aja, Kak.” Jawabku, setelah beberapa hari memilih dan memilah SMP yang akan ku masuki.
   “Yakin? Nggak pilih SMP Negeri aja?” tanya Kak Ilham lagi.
   Aku mengangguk mantap. Aku sudah melabuhkan pilihanku. Aku yakin. SMP Tegar termasuk salah satu SMP Swasta yang biayanya tidak terlalu mahal.
   “Ya sudah Dek, kalau kamu pengennya di situ. Tanggal berapa tesnya?” tanya Kak Ilham.
   “Gelombang 1 besok, Kak. Kalau gelombang 2 masih dua minggu lagi. Yang mana?” tanyaku.
   “Andaikan besok, kamu sudah siap?” tanyanya.
   “Siap, Kak.” Jawabku percaya diri.
   “Ya sudah, besok kita ke SMP Tegar. Kakak anterin kamu tes.” Ujarnya mantap.
   Aku pun mengangguk.
   “Kakak mau kuliah di mana?” tanyaku, menyuguhkan segelas es jeruk padanya dan meneguk es jeruk milikku.
   “Insya Allah di Universitas Cinta Islam, Dek. Swasta juga.” Jawabnya.
   “Jurusan apa, Kak?” tanyaku.
   “Insya Allah Kakak ambil Jurusan Biologi.” jawabnya mantap.
   “Ya sudah, Kak. Udah waktunya makan malam, nih. Kita makan apa malam ini?” tanyaku.
   Kak Ilham membuka lemari es dan melihat-lihat isinya.
   “Hmm, ini bahan-bahannya nggak matching banget, Dek. Gimana?” Kak Ilham ikut bingung.
   “Hmm..” gumamku, berpikir.
   “Gimana kalau malam ini kita dinner di luar?” tawar Kak Ilham.
   “Setujuuu!” seruku.
   Setelah bersiap-siap, kami pun masuk ke mobil.
   “Kita ke mana nih, Kak?” tanyaku, mengutak-atik radio. Mencari siaran yang bagus.
   “Adek pengennya ke mana?” tanya Kak Ilham, lembut.
   “Tumben amat pake nawarin…” cibirku, menggoda.
   “Nggak mau, nih? Ya udah, kita ke spesialis jus durian aja, ya? Enak, tuh.” Ujar Kak Ilham enteng.
   “Iiiiih.. Nggak mauuu..” pekikku spontan. Ku pukuli lengannya. Aku benci buah yang satu itu. Dibentuk apa pun, aku benci!
   “Yee, salah sendiri.. Disuruh milih sendiri malah ngenyek..” cibir Kak Ilham.
   “Ih.. Kakak kan baik, ganteng, pinter, sayang sama adeknya.. Jangan ke tempat durian, ya? Masa nggak kasihan sama adeknya yang cute ini?” ujarku, sok imut.
   “Ih, kamu nih ya. Sempeeet aja narsis..” gumam Kak Ilham gemas.
   “Jadi.. Opi yang milih tempatnya, kan?” tanyaku, mencolek-colek lengan Kak Ilham. Memaksa.
   “Untuk malam ini.. Iya, deeeh…” jawab Kak Ilham nggak ikhlas.
   “Ikhlas nggak, nih? Kalau nggak ikhlas ya udah, ke tempat duren juga nggak papa.” Rajukku, pura-pura ngambek.
   “Ikhlas, Adeek.. Ya udah, kita ke mana nih?” tanya Kak Ilham.
   “Kedai Pizza!” seruku girang.
   “Pizza muluu..” gerutunya.
   “Nggak mau? Ya udah, duren aja..” rajukku lagi.
   “Iya, iya.. Kok ngambek mulu, sih…” gerutunya lagi.
   Aku tertawa dalam hati.
***
   “Kalau disuruh makan, susahnya minta ampun. Kalau ngemil pizza? Tuh perut berasa terbuat dari karet, deh.” Omel Kak Ilham, menunjuk piringku yang sudah berkali-kali terisi potongan pizza.
   “Kalau nggak habis kan mubadzir, Kak..” elakku, terus mengunyah pizza. Makanan favoritku sepanjang masa.
   “Tapi, kalau kita milih ukuran small, pasti habis. Lah ini? Cuma berdua beli ukuran large. Siapa yang mau ngabisin?Kak Ilham tak hentinya mengomel.
   “Kakak gimana, sih? Aku makan pizzanya banyak, diomelin. Aku pesen ukuran large diomelin.. Ngapain aku mesen ukuran large kalau aku merasa nggak sanggup ngabisinnya?” entah mengapa, emosiku sepertinya terasa tersulut.
   “Ya tapi pesennya ukuran small kan bisa, Soph.. Kita cuma berdua!” Kak Ilham ikut emosi.
   “Udahlah Kak, yang penting habis, kan? Kalau Kakak nggak mau bayar, Sophie deh yang bayar!” gerutuku, beranjak meninggalkan Kak Ilham. Membayar makanan yang kami pesan, lalu dengan segera menuju mobil.
   Brak!
   Pintu mobil ditutup paksa. Benar-benar terlihat bahwa seseorang yang menutupnya sedang tersulut emosinya.
   “Ehm!” aku terbatuk. Tanpa disengaja, merusak keheningan yang sejak tadi menemani kami berdua. Bahkan, hela nafas dan detak jantung kami terasa sangat menderu. Entah hanya perasaanku atau benar adanya, namun hal ini terasa sangat menggangguku. Jarak antara kedai pizza hingga rumah yang sebenarnya tidak jauh terasa sangat membosankan.
   “Nggak usah cari perhatian. Kamu batuk atau nggak, nggak bakalan ngefek.” Seseorang yang memegang kendali mobil yang ku tumpangi bersuara. Terdengar sangat sarkasme.
   “Aku nggak cari per—” elakku.
   “Nggak usah alasan. Aku nggak tahu dan nggak mau tahu.” Lagi-lagi nada sarkasme yang terdengar, bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
   Perjalanan singkat yang terasa seperti melewati beratus-ratus kilometer ini ku lewati dengan diam. Akhirnya, tanpa sadar aku tertidur.

My World, My Future #Chapter Nine

_Sembilan_
   “Dek, ikut nggak?” tanya Kak Syaqib padaku. Aku yang tengah menyantap sarapanku nyaris tersedak. Kak Syaqib berpakaian rapi, dengan Kak Ilham di belakangnya. Sepertinya ada yang berbeda. Biasanya, Kak Ilham tidak memakai seragam sekolahnya serapi hari ini..
   “Ke mana?” tanyaku, melirik jam dinding. Jam menunjukkan pukul 06:30 WIB. Masih lumayan pagi.
   “Ambil raporku.” Jawab Kak Ilham, menarik kursi di hadapanku dan ikut menyantap sarapannya.
   “Oh, iya. Hari ini sampeyan ambil rapor, ya. Mari kita lihat, siapa yang nilainya lebih bagus. Aku atau dirimu. Ha ha ha.” Ujarku, lantas tertawa yang terdengar licik.
   “Hahaha.. Kakak bisa memprediksi, nih. Kalau Sophie, nilai Matematika sama Bahasanya pasti keren. Kalau Ilham, nilai IPA—baik Kimia, Fisika, atau Biologi—pasti paling oke. Bener nggak, yaaa?” ujar Kak Syaqib menggoda.
   “Bener!” jawabku dan Kak Ilham serempak, lantas berhigh five atas kekompakan kami.
   Memang benar apa yang dikatakan Kak Syaqib. Aku termasuk peringkat atas ketika pelajaran Matematika dan Bahasa (Bahasa apa pun, asal bukan Bahasa Daerah), namun IPA-ku begitu lemah. Sedangkan Kak Ilham? Ia sangat jago di bidang IPA, namun ia lemah di segala pelajaran yang berhubungan dengan angka. Entah, sepertinya ia dilahirkan bukan untuk menjadi seorang pecinta angka.
   “Nggak, Kak. Opi ada acara Sujud Syukur di sekolah nanti jam delapan.” Jawabku, menolak halus ajakan Kak Syaqib. “Maaf ya, Kak? Tapi do’aku selalu untukmu, kok. Semoga makin sip nilai-nilainya.” Ujarku kepada Kak Ilham.
   Kak Ilham mengangguk. “Lho, trus siapa yang anter kamu ke sekolah?” tanyanya.
   “Sekolah Opi kan deket, Kak. Gampang lah nanti.” Jawabku enteng.
   “Oh iya Dek, nilai UN-mu kemarin berapa?” tanya Kak Ilham.
   “28.80, Kak.” Jawabku singkat. “Kenapa?” lanjutku.
   “Ah nggak papa. Ya sudah, kita berangkat dulu ya Dek? Hati-hati..” pesan Kak Ilham.
   Aku mengangguk, lantas menyalami kedua kakakku.
   “Assalamu’alaikum..” salamnya.
   Aku menjawab salam, lantas beranjak menuju lantai atas. Segera mandi, bersiap menuju ke sekolah.
***
   “Assalamu’alaikum.. Adeeek!” terdengar ucapan salam dan panggilan yang ditujukan padaku. Aha, itu suara Kak Syaqib! Aku yang nyaris terlelap pun segera menuruni satu-persatu anak tangga dengan cepat.
   “Wa’alaikumsalam.. Gimana rapornya, Kak?” tanyaku antusias.
   “Yaa, seperti biasa Dek. IPA-nya keren semua.” Jawab Kak Syaqib, menyerahkan rapor Kak Ilham padaku.
   “Kakak bikin ngiri, deh.” Rajukku, menyubit pelan lengan Kak Ilham.
   Kak Ilham hanya menjulurkan lidahnya.
   “Lho, Dek Opi kan juga pinter.. Kakak seneng deh, punya adek-adek yang pinter..” sahut Kak Syaqib.
   “Iya Alhamdulillah sih.. Tapi IPA-nya Opi kan ancur banget..” akuku.
   “Ya sudah nggak papa, Dek. Sophie harusnya bersyukur udah pinter Matematika dan Bahasa.. Nggak boleh serakah dong, Dek..” ujar Kak Syaqib.
   “Iya juga, sih. Ya sudah Kak, Opi tidur dulu ya?” ijinku.
   Keduanya mengangguk.
***
   Minggu, 17 Juni 2002..
   “Adek..” terdengar ketukan di pintu kamarku. Suara Kak Syaqib dan Kak Ilham menyertainya.
   “Masuk aja, Kak!” sahutku dari dalam.
   Cklek!
   Pintu dibuka. Dua wajah tampan masuk. Lantas duduk di ujung tempat tidurku.
   “Lagi apa, Dek?” tanya Kak Ilham.
   “Lagi iseng-iseng bikin catatan, Kak. Biar laptopku ada isinya gitu. Kata temen-temen dan para guruku, aku pinter ngarang, Kak. Ya aku coba-coba aja..” Jawabku santai, sambil terus mengetik dan sesekali melirik ke kedua kakakku. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar, wajah mereka terlihat pucat.
   “Oh.. Hmm…” Kak Syaqib menggantung kalimatnya. Sepertinya ada hal penting yang ingin dikatakannya.
   Save.
   Klik.
   Ku putar badanku. Ku tatap kedua kakakku.
   “Ada apa, Kak?” tanyaku, to the point.
   “Eh, eh. Apanya, Dek?” tanya Kak Syaqib gugup.
   “Sepertinya ada hal penting yang akan kalian sampaikan.” Ujarku.
   “Hmm, sampeyan minta to the point atau pake basa-basi?” tawar Kak Syaqib.
   Waw, Kak Syaqib hanya memanggilku dengan sebutan ‘sampeyan’ ketika ada sesuatu yang sangat sangat sangat penting. Ada apa gerangan?
   “To the point.” Jawabku cepat.
   “Hmm, gini Dek.. Kakak Ilham kan sudah lulus SMA, dan sebentar lagi akan menginjak bangku kuliah… Adek Opi juga sudah lulus SD.. Kak Ilham sudah dewasa, dan Adek Opi udah remaja.. Jadi Kakak percaya, kalian berdua bisa menjaga diri..” jelas Kak Syaqib, lantas menghela nafas sejenak.
   “Adek Opi mau mendengarkan Kakak bercerita?” tanyanya kemudian.
   Aku hanya mengangguk pelan.
   “Kemarin, Kakak tanpa sengaja bertemu dengan Dosen Pembimbing Kakak ketika S2 beberapa tahun lalu.. Beliau yang selalu memotivasi Kakak, beliau bilang Kakak adalah mahasiswa paling hebat yang pernah ditemuinya.” Kak Syaqib menggeleng-geleng dan tersenyum kecil mengingat pengalamannya beberapa tahun silam.
   “Padahal Kakak tidak termasuk mahasiswa yang selalu mendapat nilai A. Bahkan, Kakak pernah mendapat nilai D. Dan, Dosen tersebut telah berkecimpung di jurusan yang beliau kuasai selama kurang-lebih 15 tahun. Kakak memang tidak percaya pada ‘rayuannya’, tapi justru hal itu memotivasi Kakak untuk menjadi mahasiswa terbaik seangkatan. Dan, ternyata benar saja. IP Kakak tertinggi seangkatan. Kalian tahu? Ketika mengetahuinya, Dosen tersebut seketika menangis. Terharu. Kakak benar-benar terkejut melihat reaksinya.” Mata Kak Syaqib menerawang jauh.
   “Maaf, Kakak jadi curhat..” ujarnya, tersenyum. Lantas melanjutkan ceritanya, “Lalu, Dosen itu bertanya, “Syaqib kuliah S3 di mana?”. Kakak tersentak mendengarnya. Kakak hanya bisa menjawab apa adanya. “Saya belum meneruskan S3, Pak.”. Dan, sekali lagi Kakak terkejut. Dosen itu menangis! Beliau berujar, “Sayang sekali kalau kamu tidak melanjutkan kuliahmu ke jenjang yang lebih tinggi lagi.. Bukankah Rasulullah pernah bersabda: Carilah ilmu hingga ke Negeri Cina?”. Kakak agak tersentak juga mendengarnya.. Karena selama ini Kakak jarang sekali belajar dengan sungguh-sungguh, kecuali jika akan ada ujian.”
   “Lalu?” tanyaku, mulai tidak sabar.
   “Beliau menawari Kakak kuliah di Berlin, Jerman..”
   “DAN KAKAK MENERIMA TAWARANNYA?!” pekikku histeris, spontan.
   Kak Syaqib mengangguk lesu.
   “Bukannya Kakak berniat meninggalkan kalian berdua atau bahkan tidak mau lagi hidup dengan kalian.. Bukan.. Tapi, Kakak hanya membenarkan ucapan Dosen Pembimbing Kakak.. Kakak hanya ingin menuntut ilmu. Di sana, Kakak bisa tinggal bersama Pak Dosen yang ternyata selama ini tinggal di Berlin.. Kakak tahu, kalian berdua sudah bisa jaga diri.. Kalian udah besar, adek-adek.. Nanti, Kakak di sana nggak cuma kuliah, tetapi juga kerja.. Setiap bulannya, Kakak akan mengirimkan uang ke kalian. Gimana, Dek?” jelas Kak Syaqib.
   “Ya sudah Kak, saya ikhlas.” Ujar Kak Ilham. Aku tahu gelagatnya. Ia menggunakan kata “saya” hanya ketika ia sedang sangat serius.
   “Dek Opi gimana, Dek?” tanya Kak Syaqib lembut.
   Aku menunduk. Ada suatu genangan di pelupuk mataku yang nyaris meluncur. Aku tak ingin Kak Syaqib menggagalkan kuliahnya di Berlin hanya karena aku. Tetapi, aku juga tak ingin berpisah dengannya. Jarak antara Surabaya-Berlin tidaklah dekat. Bismillah, aku harus mengambil keputusan..
   Refleks, aku memeluk erat tubuh Kak Syaqib. Ia terkejut, tak menyangka reaksiku akan seperti itu. Namun, perlahan ia membalas pelukanku dengan pelukan hangatnya. Pelupuk mataku sudah tak sanggup lagi menahan genangan air yang mendesak-desak ingin keluar. Aku pun merelakannya meluncur seiring dengan pelukan hangatku.
   Entah, sudah berapa tetes air yang keluar dari pelupuk mataku. Aku rasa cukup. Apapun yang berlebihan itu tidak baik, meski sebenarnya aku masih sangat sedih. Ku lepas pelukanku, lantas ku hapus satu-persatu air mata yang masih membasahi pipiku.
   “Opi sayaaang banget sama Kak Akib.. Tapi Opi nggak boleh egois. Opi pasti dosa kalau menghalang-halangi atau bahkan melarang Kakak mencari ilmu.. Meskipun berat, Opi ikhlas. Jangan lama-lama ya Kak, di sana.. Jangan pernah lupain kita berdua. Cepet lulus, ya. Dan semoga Kakak semakin sukses di sana.” Ujarku.
   “Kak Akib juga sayang sama Opi.. Terima kasih do’anya ya, Dek. Ya sudah, Kakak berangkat dulu ya?” pamitnya.
   “Sekarang juga?!” tanyaku dan Kak Ilham kompak.
   Kak Syaqib mengangguk.
  “Iya Dek, Kakak naik taksi ke bandara.. Sebentar lagi pesawatnya meluncur ke Berlin.. Kalian berdua hati-hati ya.. Karena udah pada gede, Kakak berpesan: Sekolahnya yang bener. Jangan pacaran mulu.” Pesannya, lantas mencolek hidung kami dengan raut muka yang jahil.
   Sekali lagi aku memeluknya. Lantas, Kak Syaqib berpelukan agak lama dengan Kak Ilham. Sepertinya, ia membisikkan sesuatu entah apa.
   “Assalamu’alaikum, Dek…” salam Kak Syaqib, melambaikan tangannya dan segera masuk ke taksi yang telah dipesannya.
   “Wa’alaikum salam..” jawab kami lesu. Setelah taksi menghilang, kami segera kembali masuk. Masih sedih.. Namun, di sinilah kisah hidup kami dimulai. Aku, beserta Kak Ilham, akan mengarungi hidup bersama.. Di sinilah awal dari kisah hidupku yang sebenarnya..

My World, My Future #Chapter Eight

_Delapan_
   April 1994..
   “Kakak, kita mau ke mana?” tanyaku kepada Kak Ilham. Ia menggendong ransel yang sangat besar.
   Kak Ilham hanya mengangkat sedikit bahunya. “Nggak tahu, Dek. Tanya Kak Akib sana.” Titahnya.
   “Kakak, kita mau ke mana?” ulangku, kali ini bertanya pada Kak Syaqib. Ku tarik-tarik ujung kemeja berkerahnya.
   “Ada apa, Sayang?” tanya Kak Syaqib. Sepertinya ia tak mendengar pertanyaanku barusan.
   “Kita mau ke manaa?” tanyaku lagi.
   “Kita mau ke rumah baru.” Jawab Kak Syaqib, mengedipkan sebelah matanya.
   “Rumah baru? Kita berempat mau ke rumah baru? Rumahnya siapa, Kak?” ku serbu Kak Syaqib dengan pertanyaan.
   “Mbak Gadis nggak ikut, Dek.. Kita cuma bertiga.. Iya, rumah baru..” jawab Kak Syaqib sabar.
   “Lho, kok Mbak Gadis nggak ikut? Nanti Opi—nama kecilku­­­­– mainnya  sama siapa?” tanyaku, protes.
   “Sama Kakak Akib, dong. Meskipun Kak Ilham kan juga bisa diajak main..” jawab Kak Syaqib.
   “Ih, nggak seru dong! Kan Kakak udah gede, cowok juga.. Kalo Kak Ilham, sukanya main PS. Ila nggak pernah diajak!” gerutuku sebal.
   “Lho, kan Opi emang belum bisa main PS..” ujar Kak Syaqib.
   Ah, benar juga.. Tapi, aku nggak mau kalah!
   “Harusnya Kakak ajarin Opi main PS..” ujarku, balik menyerang.
   “Hehehe, iya.. Iya deh, nanti Kakak ajarin main PS.. Sekarang, Sophie pamitan dulu sama Mbak Gadis..” titah Kak Syaqib.
   “Kakak nggak pamitan?” tanyaku kepada kedua Kakakku.
   “Oh, tentu dong.. Ayo, kita bertiga pamit sama Mbak Gadis..” ajak Kak Syaqib, menggandeng tangan kami—aku dan Kak Ilham—menuju ke kamar Mbak Gadis.
   “Mbaaak…” panggilku, mengetuk pelan pintu kamarnya.
   “Iya.. Masuk aja, Dek...” jawab Mbak Gadis. Suaranya terdengar berat.
   Perlahan, ku buka pintu kamarnya. Mbak Gadis terduduk di tempat tidurnya, memunggungiku. Kami bertiga menghampirinya.
   “Mbak Gadis kenapa? Kok nangis?” tanyaku heran, lantas memeluknya erat. Setahuku, Mbak Gadis wanita yang tegar..
   “Nggak, Mbak Gadis nggak papa, Dek..” jawabnya, menggeleng-geleng. Seperti meyakinkan dirinya sendiri. Lantas ia mengusap genangan air di wajah dan pelupuk matanya.
   “Nggak mungkin nggak ada apa-apa.. Mbak Gadis kenapa, sih? Opi nakal, ya?” tanyaku, memberondongnya. Aku tahu, pasti terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan..
   Mbak Gadis memelukku dan menciumi rambut serta wajahku. Aku kelabakan dibuatnya. Namun aku senang. Mbak Gadis bisa menjadi Kakak, Bunda, dan sahabat yang baik untukku.
   “Mbak Gadis sudah ikhlas sekarang..” ujarnya, terdengar seperti berucap kepada diri sendiri.
   “Ikhlas? Ikhlas apa, Mbak?” tanyaku, semakin bingung dibuatnya.
   “Mbak Gadis sudah ikhlas. Ikhlas kalau kalian—khususnya yang paling cantik ini—hidup di rumah sendiri. Mbak Gadis percaya Kak Akib bisa mengatur semuanya.” jawab Mbak Gadis, mencolek hidungku. “Aku titip Sophie—dan Ilham ya, Dek.” Lanjutnya, mengusap—bukan ding, ngeberantakin rambut Kak Syaqib.
   “Siap, Komandan!” jawab Kak Syaqib, mengangguk.
   “Oh, jadi Mbak Gadis nggak rela ya, kalau Opi dan Kakak-kakak pindah ke rumah baru?” tanyaku, baru ngeh.
   “Nggak kok, Sayang. Mbak Gadis udah ikhlas, rela.. Asalkan…” ujar Mbak Gadis, menggantung akhir kalimatnya.
   “Asalkan apa?” tanyaku.
   “Asalkan, kalian bertiga harus sering-sering ke sini.. Paling nggak, seminggu sekali. Deal?” tawar Mbak Gadis, membuat perjanjian.
   “Deal!” kontan, kami bertiga menyetujui perjanjian tersebut.
   Sekali lagi, Mbak Gadis menciumiku. Ia mengusap-usap pelan rambut Kak Ilham yang kala itu akan menginjak bangku kelas 5 SD. Dan, ia juga menepuk-nepuk pundak Kak Syaqib. Setelah kami bertiga mencium punggung tangan Mbak Gadis, kami segera menuju ke rumah baru kami.
   Mbak Gadis, terima kasih atas segalanya.. Terima kasih sudah merawatku dengan sabar hingga aku hampir berumur 4 tahun ini..
***
   “Dek Ilham, sebenernya kita nggak ke rumah baru.. Kita balik ke rumah kita yang lama.. Ilham masih inget ndak?” tanya Kak Syaqib.
   “Emm, inget sih Kak, lumayan.. Emang rumah itu nggak dijual?” tanya Kak Ilham.
   “Nggak dong. Kan rumah itu bisa kita pake sampai Ilham dan Opi besar nanti..” jawab Kak Syaqib.
   “Ih, pada ngomongin apa sih? Kok aku nggak diajak?” tanyaku, menggerutu. Bibirku melengkung ke bawah.
   “Adek Opi mah nggak tahu.. Weeek...” goda Kak Ilham, menjulurkan lidahnya.
   “Kak Akiiib, Kak Ilham nakaaal! Jeleeeek!” kebiasaan buruk anak kecil: mengadu.
   “Adek Opi sukanya ngaduuu.. Ih, manja..” goda Kak Ilham lagi.
   “Biarin! Daripada Kakak? Jelek! Nyebelin! Jahaaat!” aku memekik keras di dalam mobil.
   Kak Syaqib menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. “Ayo, yang merasa cakep dan sayang sama Kak Akib, minta maaf. Sesama saudara nggak boleh berantem, Adek..”
   “Adek Opi yang paling cakep dan sayang sama Kak Akib, tapi kan Kak Ilham yang salah.” Ujarku narsis, namun tetap tak mau mengalah. Bagaimanapun, Kak Ilham yang salah!
   “Ih, enak aja ya. Yang paling cakep kan aku, dan aku sayang sama Kak Akib. Adek Opi jelek! Nggak mau minta maaf sama Kakaknya!” ujar Kak Ilham sengit.
   “Tapi kan Kakak yang salaaaah!” pekikku emosi. Emosi seorang balita yang belum bisa mengatur diri sendiri.
   “Ya sudah, Kak Akib duluan yang minta maaf.. Ayo, sekarang Adek. Adek siapa ya, yang mau minta maaf duluan sama saudaranya?” ujar Kak Syaqib, meleraikan perdebatan kami.
   Tidak ada yang menjawab. Mobil hening. Akhirnya Kak Syaqib pun memilih untuk ikut diam.
***
   “Huufffft! Capek, Kak…” keluhku, menghempaskan diriku di sofa ruang tengah. Tuntas sudah tugas kami pagi ini. Membersihkan rumah yang sudah ditinggalkan kurang-lebih 4 tahun ini.
   “Iya Dek, Kakak juga capek..” Kak Ilham ikut menggerutu.
   “Dek, pepatah mengatakan: Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian.. Memang rasanya capek banget, tapi coba kalian lihat. Rumahnya jadi rapi dan indah, kan?” ujar Kak Syaqib. Lantas membuka lemari es yang sudah kami penuhi, mengambil segelas air dingin dan meneguknya. Keringat bercucuran di dahinya. Jelas, di antara kami bertiga, Kak Syaqib yang tugasnya paling banyak.
   “Ya udah, ayo ke atas, Dek. Kakak kasih tau kamar-kamarnya.” Ajak Kak Syaqib, menggenggam pergelangan tangan kananku.
   “Kok aku nggak diajak?” tanya Kak Ilham, cemburu.
   “Kalo Ilham kan sudah tahu rumah ini, Dek.. Adek Opi kan belum tahu..” jawab Kak Syaqib sabar.
   Ku julurkan lidahku ke arah Kak Ilham. Ia terlihat sebal.
   “Ah, pokoknya Ilham ikut!” pekiknya sebal.
   “Ya sudah, ayo..” ajak Kak Syaqib, menuntun kami berdua ke lantai atas.
   “Nah, ini kamarnya Dek Ilham sama Kakak Akib..” ujar Kak Syaqib, layaknya pemandu wisata. Ia membuka pintu kamar tersebut. Kami diajaknya masuk dan melihat-lihat isi kamarnya, yang tadi pagi telah dirapikan Kak Syaqib.
   Kamar ini berisikan sebuah  kasur yang lumayan besar dengan bed cover bergambar klub sepak bola kesayangan mereka berdua: Barcelona, dua buah lemari pakaian, satu meja belajar dan satu buah meja yang di atasnya terdapat sebuah laptop milik Kak Syaqib. Dindingnya berwarna biru laut dan kamar ini beralaskan marmer.
   “Kamar Opi mana? Nggak mungkin di sini juga, kan?” tanyaku. Aku malas jika harus sekamar dengan Kak Ilham. Ia pasti akan terus menggangguku.
   “Kamar Opi di sebelah… Ayo, kita lihat.” Ajak Kak Syaqib. Kami mengangguk.
***
   “Nah, ini kamarnya Adek Opi.. Gimana? Opi suka?” tanya Kak Syaqib setelah membuka pintu kamar—yang katanya milik—ku.
   “Waw. Keren, Kak.” Ujarku, berdecak kagum. Spechless.
   Kamar ini begitu indah bagiku. Dindingnya berwarna biru donker. Lantainya sama persis seperti kamar kedua kakakku. Ada satu kasur kecil yang dilapisi bed cover  bergambar Chelsea. Meski belum terlalu paham permainan sepak bola, aku sangat menyukai klub ini. Kedua kakakku juga mendukung Chelsea di Liga Inggris, meskipun mereka sangat mendukung Barcelona. Di sebelah utara kasur mungilku, ada sebuah lemari pakaian yang juga kecil namun terlihat begitu lucu. Lemari ini bergambarkan Mickey Mouse, tokoh kartun kesukaanku. Kamar ini terlalu keren!
   “Kok bengong, Dek? Nggak suka, ya?” tanya Kak Syaqib, kecewa. Sejak pagi tadi hingga pukul 4 sore ini, ia paling sibuk menghias kamarnya dan kamarku.
   “Ha? Bagus, Kak. Opi suka banget..” jawabku, mengacungkan kedua ibu jariku.
   “Tapi maaf ya Dek, kamarnya terlalu ‘cowok’.. Besok Kakak ganti deh, bed covernya… Ila mau apa? Putri Salju? Atau Barbie?” tawar Kak Syaqib.
   “Nggak, Kak. Opi suka Chelsea, kok.” Jawabku, tersenyum.
   “Kak.. Sepertinya adek kita ini nggak bener-bener ‘cewek’ deh.. Suka Chelsea, tuh.” Bisik Kak Ilham keras, lantas terkikik bersama Kak Syaqib.
   “Apaan, sih?!” pekikku, menyubit paha Kak Ilham.
   “Eits, eits. Aku ini Kakakmu, nggak boleh protes.” Ujarnya mengelak, alasan yang sangat menyalahgunakan jabatan. Mentang-mentang dia ‘Kakak’ dan aku ‘Adek’nya. Dan, asas penyalahgunaan jabatan ini ternyata masih berlaku hingga aku dewasa nanti..

My World, My Future #Chapter Seven

_Tujuh_
  “Bener nih Mbak, kita boleh tinggal di sini?” tanya Kak Syaqib. Matanya berbinar-binar tak percaya.
  “Iya.. Sudah, anggap saja rumah sendiri.. Lagian, aku di sini juga sendirian.. Kan enak kalau ada kalian, apalagi bayi. Aduh, serasa punya dua adek dan satu bayi..” jawab Mbak Gadis heboh.
  “Wah, makasih banyak ya, Mbak.. Mbak Gadis baik, deh. Udah cantik, baik, mirip sama Bunda..” ujar Kak Ilham—ia sudah mempunyai Adik sekarang!—, lantas menelan ludahnya. Akhir kalimat yang baru saja diucapnya terasa menghujam jantungnya sendiri.
  “Sama-sama, Sayang.. Aku seneng kok dengan kedatangan kalian bertiga..” jawab Mbak Gadis, lantas sibuk merapikan baju-baju Kak Syaqib dan Kak Ilham ke dalam lemari yang telah disiapkannya.
  Kak Syaqib, Kak Ilham, dan adik perempuannya kini tinggal bersama Mbak Gadis, sepupu mereka. Ia menawarkan diri untuk merawat adik bayi. Ia seorang janda berumur 36 tahun. Suaminya seorang pilot, dan meninggal ketika pesawat yang dikendarainya mengalami kecelakaan. Sejak 2 tahun yang lalu, ia hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya pun telah meninggal dunia.
***
  “Mbak, bener nih, saya boleh tinggal di sini?” tanya Kak Syaqib, menghempaskan tubuhnya di sofa empuk milik Mbak Gadis. Kedua adiknya telah terlelap.
  “Nggak papa, Dek. Emang capek banget sih hari ini.. Tapi asyik, kok. Aku yakin, lama-lama aku pasti terbiasa. Kamu juga. Semuanya berproses kok, Dek. Aku lihat Sophie ini nggak terlalu rewel, kok. Padahal dia kan kita kasih susu formula. Dia nggak rewel kok, Dek. Insya Allah kita bisa..” jawab Mbak Gadis, ikut menghempaskan tubuhnya di sofa. Berhadap-hadapan dengan Kak Syaqib.
  “Saya sungkan, Mbak. Nanti kalau saya lulus kuliah, saya mau cari rumah sendiri, Mbak. Insya Allah tahun 1999 saya lulus. Mungkin nanti Sophie sudah masuk TK. Do’akan kuliah saya lancar ya, Mbak.” Ujar Kak Syaqib, menerawang.
  “Rumah ini selalu terbuka kok, Dek. Kalau nanti kamu lulus kuliah masih tetep di sini juga nggak masalah.. Anggep aja rumah sendiri…” ujar Mbak Gadis tenang.
  Kak Syaqib mengangguk-angguk. Ia bertekad untuk segera meluluskan kuliah S2nya. Ia tak bisa terlalu lama ‘nebeng’ di rumah Mbak Gadis. Bagaimanapun, ia sudah dewasa dan kini menjadi tulang punggung keluarganya.