_Tiga Belas_
Senin, 16 Juli 2002…
In a time of darkness and greed..
It is your light that we need…
You came to teach us how to live..
You were so caring and kind..
Your soul was full of light…
You are the best of mankind..
Sallu ‘ala rasulillah..
Habibil Mustafa…
Peace be upon the Messenger...
The Chosen One..
From luxury you turned away..
And all night you would pray..
Truthful in every word you say..
Your face was brighter than the sun..
Your beauty equaled by none..
You are Allah’s Chosen One…
Sallu ‘ala rasulillah….
Peace be upon the Messenger..
The Chosen One..
I’ll try to follow your way…
And do my best to live my life..
As you taught me..
I pray to be close to you..
On that day and see you smile..
When you see me..
Sallu ‘ala rasulillah..
Habibil Mustafa…
Peace be upon the Messenger…
The Chosen One..
Sallu ‘ala rasulillah..
Peace be upon the Messenger…
The Chosen One..
Sallu ‘ala.. rasulillah..
Peace be upon..
The Chosen One..
Alarm dari telepon genggamku selesai berbunyi. Telepon genggamku ini super-canggih, tapi menyebalkan. Alarmnya hanya bisa dimatikan ketika nada deringnya habis. Akhirnya, ‘The Chosen One’ yang dinyanyikan Maher Zain tandas juga. Ku raba-raba meja di sebelah tempat tidurku, tempat handphone-ku bersarang. Nah, ini dia! Dengan mata yang baru ku buka seperempat, aku mematikan alarmnya dengan segera. Alarm akan berbunyi setiap 5 menit sekali.
Aku kembali tidur. Aku lupa apa tujuanku menyalakan alarm hari ini. Aku pelupa dan suka begadang. Lebih tepatnya, aku pelupa dan suka bangun kesiangan.
Tak lama, terdengar ketukan keras dan suara Kak Ilham berseru. “Dek! Adek!” ia terus mengetuk pintu kamarku dengan keras.
Aku tak menjawabnya. Ah, biarkan saja! Mungkin ia akan membangunkanku dan memerintahkanku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah.
Tak ada jawaban, Kak Ilham membuka pintu kamarku.
“Tuh kan , masih tidur.. Apa gunanya alarm, coba?” gerutu Kak Ilham .
Aku tetap bungkam.
“Dek.. Ayo , bangun..” titahnya, membuka selimut dan mematikan AC. Dengan cara seperti itu, aku pasti bangun.
“Ngapain sih, Kak? Ini kan masih jam enam..” gerutuku, melirik ke arah jam dinding di kamarku.
“Kamu lupa hari ini hari apa?” tanya Kak Ilham santai.
Aku mengambil handphone-ku, lantas melihat hari.
“Senin, Kak.” Jawabku, santai pula.
“Tanggal berapa?” tanyanya lagi.
Ku lirik lagi handphone-ku. “Enam belas.” Jawabku malas. “Kenapa, sih?” lanjutku.
“Kamu masuk sekolah hari apa?” tanyanya lagi, memasang muka jahil.
Aku mengerlingkan mataku, mencoba mengingat-ingat. “Ya Allah! Kenapa nggak bilang dari tadi sih, Kaaaaaaaak?” pekikku heboh. Aku baru saja ingat bahwa hari ini hari pertamaku masuk sekolah baru!
“Hayo, heboh..” goda Kak Ilham , mendorongku dari belakang.
Aku menuju ke kamar mandi dengan blingsatan. Tergesa-gesa.
***
Aku turun dari mobil dan melambaikan tanganku kepada Kak Ilham . Lantas aku masuk ke dalam sekolah baruku ini. Sialnya aku! Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Sudah sejak setengah jam yang lalu bel sekolah berdering. Sialnya lagi, aku sama sekali tidak mengikuti MOS 3 hari kemarin, karena aku terserang cacar air. Jadi, aku harus mencari letak kelasku terlebih dahulu.
“Hei!” seseorang menepuk pundakku dari belakang.
Aku menoleh. Ada seorang anak perempuan yang manis berdiri di hadapanku. Ia berkulit putih, tingginya hampir sama denganku, dan sepertinya… centil.
“Apa kita pernah kenal sebelumnya?” tanyaku, tanpa basa-basi. Ah, semoga ia tidak marah.
“Seingatku belum. Maka dari itu, aku ingin berkenalan denganmu.” Jawabnya, tersenyum tulus.
“Hmm, bolehkah kita berkenalan sambil menuju ke kelas? Aku sedang mencari kelasku.” Ujarku.
“Mmm, kita lihat aja di mading. Aku nggak ikut MOS kemarin. Kamu juga ya? Namamu siapa?” tanyanya, mengayunkan kakinya bersamaku.
“Iya nih. Aku kena cacar. Sophie Robbani . Biasa dipanggil Sophie atau Opi. Kamu?” tanyaku.
“Annisa Marseli . Isa.” Jawabnya.
“Salam kenal.” Ujarku, dan ku lihat ia mengangguk.
Kami menatap mading di hadapan kami. “Sophie ! Ini nama kamu!” seru Isa, menunjuk namaku di deretan nama-nama siswa baru. Ku lihat kelasku. 7B.
“Yes! Kita sekelas!” pekiknya lagi.
Aku tersenyum. Sepertinya, Isa bukan teman yang buruk.
***
Ku ketuk pelan pintu kelas baruku. Lantas ku dorong perlahan.
Yah, layaknya sebuah kelas baru.. Teman-teman baru, guru baru, dan hari pertama diawali dengan perkenalan. “Masuk!” seorang ibu-ibu paruh baya memerintahkan kami untuk masuk.
“Saya wali kelas kalian. Bu Ira. Perkenalkan diri kalian.” Pinta Bu Ira, ramah.
“Hai. Namaku Anisa Marseli, biasa dipanggil Isa. Salam kenal.” Isa memperkenalkan dirinya lebih dulu.
“Dan aku Sophie Robbani . Kalian bisa memanggilku Sophie atau Opi. Salam kenal juga.” Aku turut memperkenalkan diri.
“Oke, kalian bisa duduk di sana . Tak apa kan , kalian duduk sebangku? Karena hanya ada dua kursi di belakang.” Ujar Bu Ira.
“Tidak apa-apa, Bu! Terima kasih!” sahut Isa senang, membungkukkan badannya.
“Yeah! Kita bisa sebangku juga!” bisik Isa, senang.
Aku tersenyum. Aku juga senang.